MAKAM TEUNGKU DI MANYANG KAYEE JATOE : REPRESENTASI PEMUKIMAN PEDALAMAN KUNO PIDIE JAYA

Budayapijay.or.id - Situs makam Teungku di Manyang Kayee Jatoe terletak di dalam sebuah kebun warga yang jauh dari pemukiman di Gampong Kayee Jatoe Kecamatan Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Situs ini terletak pada koordinat 01’ 80’ 61.8” ºLU – 05’ 79’ 00.7” ºBT dan berada pada ketinggian 16 meter di atas permukaan laut. Di situs ini terdapat sebaran batu nisan Aceh pada sebuah bukit landai kecil seluas 100 x 56 meter yang telah ditutupi oleh semak belukar. Sebanyak 5 buah batu nisan Aceh tersebar secara acak. Jenisnya adalah tipe A (1 buah), tipe pipih (2 buah) dan tipe E (2 buah / satu pasangan).

 

Nisan tipe A terletak di sisi paling selatan bukit, bahannya batu pasir dengan tinggi 52 cm, panjang 23 cm dan lebar 10 cm. Nisannya polos tanpa hiasan, badannya terkesan ramping dengan sayap kecil melengkung ke atas pada bahunya dilengkapi mahkota kecil pada puncaknya.

Nisan tipe A di situs makam Teungku di Manyang Kayee Jatoe

Dua buah tipe pipih terletak di dua lokasi berbeda, satu di sisi utara dan satunya lagi di sisi di sisi timur bukit. Menurut penuturan warga, dahulu nisan ini memiliki pasangannya masing-masing dan setelah ditelusuri pasangannya tidak lagi ditemukan. Bahannya batu pasir dengan tinggi 33 cm, panjang 20 cm dan lebar 7 cm. Badannya polos tanpa ukiran dengan permukaan yang sudah mulai aus. Spesifiknya, nisan pipih ini tidak mewakili tipologi nisan Aceh yang diusulkan oleh Yatim (1988) dan Ambary (1998). Bahunya bundar dengan badan bawah lebih ramping dengan ukuran kaki selebar badan. Perbedaannya adalah kaki nisan Aceh tipology Othman semuanya lebih kecil dari badan. Edwards McKinnon (2011) pernah menemukan nisan jenis ini di situs Lamreh dan ia menyebutnya slab, tidak menggunakan tipologi seperti yang diusulkan oleh peneliti terdahulu.


Dua buah nisan tipe pipih di situs makam Teungku di Manyang Kayee Jatoe

Sejumlah 2 buah nisan tipe E yang diyakini berpasangan terletak di sisi utara situs, tepat di samping nisan pipih yang telah dijelaskan di atas. Kedua nisan ini telah berubah posisi yang teridentifikasi melalui keletakan nisan tidak mengikuti orientasi pemakaman muslim. Atas dasar ini, kemungkinan besar posisi kedua nisan sekarang bukan lokasi makam, namun makamnya diyakini berada di salah satu titik di gundukan ini. Kedua nisan ini memiliki ukuran yang sama, tingginya 57 cm, panjang 19 cm dan lebar 7 cm. Permukaan nisan kepala telah aus sehingga ornamennya tidak lagi teridentifikasi. Permukaan nisan kaki juga telah aus, namun ornament flora yang diukir di dalam panil masih begitu jelas terlihat. Tidak begitu pasti nama detil ornament ini megingat polanya sangat berbeda dengan pola ornament tradisional Aceh yang sering dilukis pada batu dan kayu (Yatim 1988).

 

Nisan tipe E dan ornament flora pada badannya



Wawancara dengan warga lokal di situs makam

Latar Sejarah

Informasi angka tahun semua nisan di situs ini hanya bisa ditelusuri melalui morfologinya. Satu buah nisan tipe A di situs ini kemungkinan berasal dari awal abad ke-16 Masehi dilandasi oleh bentuknya lebih dekat ke periode nisan Aceh yang dihasilkan di tahun 1500an. Jika diamati secara detil, morfologi nisan Aceh yang dihasilkan dari periode sebelum tahun tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan nisan tipe A di situs ini (Oetomo 2016).

Kemudian, dua unit nisan tipe pipih di situs ini tidak mewakili salah satu bentuk batu nisan yang telah dipopulerkan oleh peneliti terdahulu. Sejauh ini, batu nisan pipih ini menyerupai nisan slab yang berasal dari tahun 1400an (Edwards McKinnon 2011). Kuat dugaan berdasarkan persamaan karakter walau bahannya berbeda diyakini bahwa nisan pipih di situs ini berasal dari abad ke-15 Masehi.

Dua buah nisan tipe E yang ditemukan di situs ini juga tidak memiliki inskripsi kaligrafi. Berdasarkan tipologinya, nisan jenis ini diproduksi di abad ke-16 Masehi (Yatim 1988). Hanya saja ornament pada badan belum dapat diidentifikasi secara lebih jelas sehingga biografi pemilik nisan ini belum dapat dipastikan.

    Berdasarkan pembahasan di atas diketahui bahwa minimal terdapat 4 makam di situs ini. Masyarakat hingga saat ini belum dapat memastikan kubur mana yang dirujuk sebagai makam Teungku di Manyang Kayee Jatoe. Ada sebuah cerita yang dipercayai bahwa tokoh yang dimakamkan di sini memiliki karomah sehingga makamnya semakin hari semakin bertambah panjang. Atas dasar ini, masyarakat tidak berani membersihkan dan mereposisinya sehingga situs ini berubah menjadi semak belukar.

Namun, jika kita lihat peta persebaran makam kuno di kecamatan ini, situs Makam Teungku di Manyang Kayee Jatoe terletak di pedalaman, sebuah kawasan kaki perbukitan yang jauh dari pantai. Di kawasan ini hanya ada dua komplek makam kuno yang letaknya agak berdekatan. Atas dasar kuantitatif dan keletakannya, maka kedudukan situs ini sangat penting dalam memahami pola persebaran pemukiman kuno di Pidie Jaya sekitar abad ke-16 Masehi. Situs ini harus diselamatkan karena merepresentasikan pemukiman pedalaman kuno yang telah terbentuk ratusan tahun dahulu. Dalam berbagai literatur sejarah, kawasan pedalaman Aceh adalah pusat perkebunan rempah (Said 1981, Zainuddin 1961). Lombard memberikan keterangan sangat detil tentang perkebunan lada di Aceh abad ke-15 Masehi. Ma Huan dalam laporannya mencatat bahwa perkebunan lada di Aceh terletak di lereng bukit di mana ada keluarga-keluarga yang mengelola perkebunan tersebut. Keluarga tersebut akan memetik lada apabila sudah setengah masak, mengeringkan lalu menjualnya (Lombard 1986). Alhasil, Portugis di abad ke-16 Masehi memberi keterangan bahwa Pedir dan Pasai telah berhasil mengekspor lada dalam jumlah besar ke China dan wilayah lainnya (Pires 1944).

Informasi di atas menjadi petunjuk bahwa bukti pemukiman di pedalaman sangat penting dalam merekonstruksi kondisi geo-ekonomi Pidie Jaya lima ratus dahulu. Ada indikasi kuat bahwa kawasan pedalaman di Pidie Jaya pada masa lampau adalah daerah tumpuan perkebunan rempah khususnya lada. Situs makam Teungku di Manyang Kayee Jatoe adalah bukti kuat bahwa kawasan pedalaman di Meureudu kuno telah dimanfaatkan secara masif guna memproduksi rempah berkualitas tinggi.

 

Referensi

Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia.              Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Edwards McKinnon, E. 2011. "Continuity and Change in South Indian Involvement in Northern                      Sumatra: The Inferences of Archaeological Evidence from Kota Cina and Lamreh." In Early              Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross-Cultural Exchange.                          Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Lombard, Denys. 1986. Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda, 1607-1636. Jakarta: Balai                      Pustaka.
Oetomo, Repelita Wahyu. 2016. "Metamorfose Nisan Aceh, dari Masa ke Masa."  Berkala Arkeologi              Sangkhakala 19 (2):130-148.
Pires, Tomé. 1944. The Suma Oriental of Tomé Pires: An Account of the East, from the Red Sea to Japan.             Translated by Armando Cortesão. Vol. 2. New York: Routledge.
Said, Mohammad. 1981. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada.
Yatim, Othman Mohd. 1988. Batu Aceh: Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia. Kuala                     Lumpur: Museum Association of Malaysia.
Zainuddin, H.M. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.

 

Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay