Menguak Sejarah Meriam Bumbung di Meunasah Blang, Peninggalan Perang Aceh-Belanda

Koordinat: 5o17’41.9’’N, 96o33’10.5’’E
Elevasi: 7 mdpl


Budayapijay.or.id - Meriam adalah salah satu jenis senjata api yang dibuat dari besi atau perunggu dengan berbagai bentuk dan ukuran yang digunakan untuk menembak jarak jauh. Pada masa lampau, meriam digunakan di kapal laut, benteng atau artileri di medan perang (Karim et al. 1985). Berdasarkan kegunaannya, meriam dibedakan menjadi tiga jenis yaitu meriam kapal, meriam benteng dan meriam medan perang. Senjata ini pertama sekali digunakan di Indonesia pada abad ke-16 Masehi hingga masa kemerdekaan.


Sebuah meriam kuno ditemukan di halaman Meunasah Blang, Desa Meurandeh Alue, Kecamatan Bandar Dua Kabupaten Pidie Jaya. Panjang maksimalnya adalah 295 cm dilengkapi sumbu pemasangan roda (pen) sebagai petunjuk penggunaannya pada masa lampau. Meriam bumbung adalah jenis meriam yang paling sering digunakan di Indonesia khususnya era penjajan Belanda (Karim et al. 1985). Tahun pembuatannya belum dapat dipastikan, namun cirinya sangat menyerupai meriam yang dibuat oleh Belanda di abad ke-19 Masehi.


Menurut penuturan warga, meriam ini ditemukan di salah satu lokasi persawahan yang berdekatan dengan sungai Batee Ilik sehingga kemudian dipindahkan ke lokasi sekrang ini. Berdasarkan informasi tersebut, keberadaan meriam bumbung ini tidak dapat dipisahkan dari ekspedisi Belanda ke Samalanga tahun 1877. Lokasi penemuannya adalah medan perang Belanda dengan Aceh di periode tersebut. Kita dapat mengetahui asal usulnya bahwa meriam ini adalah salah satu artileri utama yang digunakan dalam ekspedisi tersebut. Pertempuran hebat selama hampir tiga dekade terjadi di kawasan Batee Ilik – Samalanga, sebuah lokasi yang tidak jauh berada dari desa Meunasah Blang tempat ditemukan meriam ini.

Berdasarkan sejarahnya, Samalanga sekitar tahun 1800an merupakan wilayah otonom di Kesultanan Aceh yang diperintah oleh Teuku Chik Bugis. Sementara urusan pemerintahan dipegang oleh Pocut Meuligo, seorang wanita yang juga cukup lihai dalam menyusun taktik perang (Coblijn 1893).

Serangan Belanda atas Samalanga pertama sekali dilakukan di tahun 1876 atas perintah Van Der Heijden selaku Gubernur Militer Hindia Belanda untuk Aceh (Coblijn 1893). Namun, serangan pertama ini gagal karena pasukan Aceh Batee Ilik – Samalanga terlalu kuat. Oleh karena itu, di tahun 1877 Belanda kembali menyusun strategi guna menaklukkan Samalanga. Berbagai peralatan perang disiapkan oleh Belanda mulai marinir beserta meriam (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh 1990). Akibat serangan ini, Samalanga mulai lemah namun Teuku Chiek Bugis dan Pocut Meligo masih berkuasa penuh atas Samalanga. Pusat pertahanan Samalanga sendiri adalah di Kuta Glee, hulu sungai Batee Ilik (Coblijn 1893).

Berselang tiga tahun dari serangan tersebut, sebuah peta detil beserta topografi benteng Kuta Glee berhasil dibuat oleh Belanda di tahun 1880. Peta ini adalah karya Egbert Broer Kielstra (perwira Belanda), menampilkan lokasi benteng serta jalur yang akan digunakan oleh Belanda untuk menyerang benteng Kuta Glee (Kielstra 1884). Ini menandakan bahwa Belanda mempersiapkan sesempurna mungkin rencana penyerangan atas Benteng Kuta Glee di hulu Batee Ilik sebagai pusat pertahanan pasukan Aceh di Samalanga. Alhasil, Belanda untuk ketiga kalinya menyerang lagi Samalanga di tahun 1880 di bawah komando Van Der Heijden (Said 1981).

Salah seorang tokoh yang cukup berpengaruh dalam perlawanan Belanda di Samalanga Teungku Chik Pantee Geulima yang diangkat oleh sultan Aceh sebagai panglima perang sekitar tahun 1887 (Said 1981). Beliau menjadikan pesantrennya sebagai pusat latihan perang di mana santri-santrinya adalah calon tentara yang akan terjun ke beberapa medan perang di Aceh, salah satunya peperangan di Batee Ilik. Namun, pada 03 Februari 1904 benteng Kuta Glee berhasil direbut oleh Belanda (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh 1990). Tengku Chik Pantee Geulima selaku pemimpin pasukan Aceh di Samalanga gugur dalam pertempuran ini (Dar 2018).

Maka dari itu, keberadaan meriam Belanda di desa Meunasah Blang memiliki arti sejarah yang cukup penting. Artefak ini merekam peristiwa akan ketangguhan pasukan Aceh dalam mempertahankan Samalanga dari serangan Belanda selama 28 tahun (1876-1904).

Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay