Setelah kemerdekaan jalan hidup Wikana sangat rumit, ia dianggap terlibat peristiwa Madiun 1948, namun berhasil lepas dari kejaran tentara. Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 februari 1955. Namun revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif, ini sama saja dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno.
Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Beruntung Waperdam Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota MPRS. Pada saat penangkapan-penangkapan setelah kejadian GESTAPU, Wikana hilang begitu saja. Sampai sekarang tidak jelas juntrungannya.
Sumber: Peran Dan Perjalanan Karir Wikana
Wikana dan Proklamasi
Semuanya terjadi karena sebagian pemuda dan Mahasiswa yang berhasil mendapatkan berita penyerahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945 di kapal perang USS Missouri. Berita itu menyebar di kalangan terbatas. Tak hanya menyebar, berita itu juga disikapi para pemuda. Mereka segera berkumpul esok harinya, 15 Agustus 1945, di bawah pohon. Masih di sekitar Cikini. Wikana hadir di sana.
Rapat sederhana itu memutuskan mengirim delegasi pemuda untuk berbicara pada golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka begitu bersemangat. Bahkan ketika itu, Ahmad Aidit, pemuda asal Belitung, mengusulkan Sukarno sebagai Presiden setelah Proklamasi. Mengenai siapa yang akan mereka kirim, telah dipilih Suroto Kunto, Subadio, Wikana dan Aidit untuk bicara para Soekarno yang dianggap wakil angkatan tua.
Malam harinya, keempat pemuda tadi menemui Soekarno di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur 56, yang kini menjadi Tugu Proklamasi. Kebetulan, rumah Sukarno sedang ramai oleh orang-orang Golongan Tua. Sukarno dan Hatta ketika itu baru saja pulang dari Saigon menemui Marsekal Terauchi di sana.
Seperti rencana rapat di bawah pohon, Wikana mendesak agar kemerdekaan diumumkan secepat-cepatnya. Jika perlu pada 16 Agustus 1945. Sukarno yang tak suka dipaksa, enggan menuruti mau para pemuda itu. Soekarno tak bisa ambil keputusan sendiri. Harus ada pembicaraan dengan golongan tua yang lain dulu untuk proklamasi.
Wikana dan kawan-kawan pemuda yang ikut dengannya mempersilakan para golongan tua untuk berunding dan pemuda menunggu di beranda rumah. Mohamad Hatta keluar menemui pemuda-pemuda itu. Hatta berkeras mereka tak mau dipaksa untuk segera proklamasi karena menanti penyerahan kekuasaan dari Balatentara Jepang. Tak lupa Hatta menantang pemuda yang dianggap tak mau mengerti tadi. Yang dimau golongan tua berharap golongan muda bersabar.
“Jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikannya, cobalah! Saya pun ingin lihat kesanggupan saudara-saudara.,” kata Hatta pada para pemuda itu.
“Jika besok siang belum juga diumumkan, kami, para pemuda akan bertindak dan menunjukan kesanggupan yang saudara kehendaki,” balas Wikana. Kepada Sukarno, Wikana juga mengancam, “Jika tidak mau memproklamasikan, maka esok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah.”
Menurut Suhartono Pranoto, dalam Kaigun Angkatan Laut Jepang Penentu Krisis Proklamasi (2007), Sukarno tak mempan dengan ancaman tersebut dan balik menantang, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya...”
Tekanan proklamasi tak hanya dari golongan muda, tapi juga datang dari Sutan Sjahrir. Sore sepulang Sukarno-Hatta kembali dari Vietnam, ia mendesak Hatta untuk segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
“Sjahrir menjumpai Hatta, menceritakan kepadanya tentang cerita-cerita penyerahan itu, dan mendesaknya supaya membuat Proklamasi Kemerdekaan diluar kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan alasan bahwa sekutu yang menang pasti tidak mau berurusan dengan suatu negara yang disponsori Jepang,” tulis Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda (1988).
Akhirnya, pada 16 Agustus 1945, para pemuda menujukan kesanggupannya. Bukan memproklamasikan sendiri. Tapi untuk mendesak lebih jauh. Dengan cara, Sukarno dan Hatta mereka culik. Begitu juga istri Soekarno, Fatmawati, dan anak yang masih kecil, Guntur, terpaksa jadi satu paket dengan Sukarno. Para pemuda menyebut jika PETA dan Heiho akan berontak, jadi Sukarno-Hatta diamankan para pemuda. Dengan memakai dua mobil, mereka dibawa ke Rengasdengklok , Karawang. Daerah ini dirasa aman, karena komandan PETA di wilayah itu menjamin keamanan Bung Karno dan Bung Hatta.
Pemberontakan Itu Tak Pernah Terjadi
Tirto.id |
Adik Seorang Digulis
Jabatan Dalam Kabinet
Menteri Negara dalam kabinet Sjahrir III masa kerja 2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947
Menteri Negara dalam kabinet Sjahrir II masa kerja 12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946
Menteri Negara dalam kabinet Amir Sjarifuddin I masa kerja 3 Juli 1947 - 11 November 1947
Menteri Negara (Urusan Pemuda) dalam kabinet Amir Sjarifuddin II masa kerja 11 November 1947 - 29 Januari 1948
Penyunting: Afdhal Zikri, S.Pd (Ahli Pertama - Pamong Budaya)
0 Komentar