MENEROPONG MASA LALU PIDIE JAYA LEWAT KACAMATA ABDULLAH HUSSAIN



Beberapa waktu lalu, saya bersama Habibi (rekan sekantor) berkesempatan mewawancarai Abua Nurdin. Menurut informasi awal yang saya peroleh, Abua Nurdin yang bernama lengkap H. Marudin bin Daud kelahiran Blang Cut, Meurah Dua, Pidie Jaya, 28 November 1932 merupakan orang tertua di Meureudu dan sekitarnya untuk saat ini. Bulan lalu usia beliau tepat 90 tahun.

Saat bertemu beliau di rumahnya, saya hampir tidak percaya kalau Abua Nurdin sudah berusia 90 tahun karena melihat fisiknya yang masih kokoh dan gaya bicaranya yang masih lantang. Niat awal kami sebenarnya hanya ingin mendokumentasikan benda-benda cagar budaya koleksi beliau yang masih tersimpan dengan sangat baik.

Melihat ingatan beliau yang masih sangat kuat, saya lalu mengambil kesempatan untuk mewawancarai seputar kondisi Meureudu ketika beliau masih kecil. Semua ingatan beliau yang diceritakan dengan lugas tersebut saya rekam dengan alat perekam di ponsel dan beberapa poin pentingnya saya catat dalam buku harian.

Selama kurang lebih dua jam kami ngobrol kilas balik kondisi Meureudu dulu. Diantara yang paling emosional dari obrolan kami ketika Abua Nurdin menjawab pertanyaan saya mengenai kisah seputar kemerdekaan di Meureudu. Berulang kali Abua Nurdin mengucapkan “Jepang memang parahlah. Jepang itu kejam. Banyak rakyat yang mati semasa Jepang menduduki Meureudu.”

Sekembali dari rumah Abua Nurdin, rasa penasaranku tentang kondisi Meureudu pada awal kemerdekaan masih terus mengganggu. Hari itu ku “bongkar” beberapa koleksi buku yang ada di Pustaka Mini Museum Pidie Jaya. Ditengah pembongkaran itu ku temukan sebuah buku lama berjudul “Peristiwa Kemerdekaan di Aceh” karangan Abdullah Hussain.

Dari sampul belakang buku itu, ku tahu bahwa Abdullah Hussain adalah putra Aceh kelahiran Yan, Kedah, Malaysia. Ayahnya berasal dari Glee Ceurih, Gampong Aree, Kecamatan Delima, Pidie. “Kira-kira sebulan sesudah penyerangan tentara Jepang ke Kedah dari jurusan Thailand, Abdullah dengan empat orang teman telah menggabungkan diri dalam Fujiwara Kikan di bawah pimpinan Iwaichi Fujiwara, semacam kolone kelima yang disebarkan ke Sumatera dan Jawa sebelum penyerangan fisik dilakukan.”

Buku itu diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1990 di Jakarta. Pada bagian akhir kata pengantar yang ditulis oleh pihak Balai Pustaka tertulis, “Pikiran Abdullah bukan bertujuan untuk menyombongkan diri. Bahkan akhirnya ia pun memupus bahwa semuanya ini hanya merupakan suatu kebetulan. Namun terlepas dari apakah itu suatu kebetulan atau tidak, inilah  bukti bahwa gejolak hati dan perasaan suatu bangsa yang selalu ditindas dan teraniaya memerlukan picu untuk pembebasannya. Dan picu itu adalah proklamasi kemerdekaan.”

Buku setebal 259 halaman itu terdiri atas 40 bagian yang masing-masing bagiannya memiliki puncak konfliknya sendiri. Walaupun buku ini ditulis dengan gaya novel (fiksi sejarah menurut pihak Balai pustaka), namun hampir seluruh bagiannya merupakan kisah nyata yang dialami Abdullah Hussain sejak awal bertugas sebagai Kepala Polisi Langsa menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Maka tidak berlebihan kalau saya mengkategorikan buku ini sebagai bagian dari autobiografi seorang Abdullah Hussain.

Dalam salah satu bagian di buku itu, Abdullah Hussain menceritakan pertemuannya dengan Ientje, seorang nona peranakan Cina Belanda yang kebetulan tinggal berdekatan dengan rumahnya. Belakangan Abdullah mengetahui kalau nona itu adalah seorang intel. “Dia memberitahu supaya aku jangan tidur di rumah pada malam hari. Disuruhnya aku berpindah-pindah selang satu malam karena ada gerakan pembersihan yang akan dilakukan oleh Jepang sebelum mereka itu dikumpulkan dan dikirim kembali ke negerinya. Dia juga memperingatkan aku tentang orang-orang Jepang yang menyewa di sebelah rumahku itu. Katanya Jepang-Jepang itu bukan hanya pegawai tambang minyak seperti yang selalu aku sangka. Mereka itu khusus ditempatkan oleh kempeitai untuk mengawasi gerak-gerikku, orang-orang yang datang ke rumahku dan mungkin juga mereka telah meletakkan alat-alat yang dapat merekam apa yang aku bicarakan.” tulis Abdullah pada halaman 23.  

Pada bagian selanjutnya, Abdullah juga mengisahkan perjuangannya bersama Tuan Abdoessoeki -saat itu bertugas sebagai Kepala Kantor Telepon Langsa- yang pandai memperbaiki radio. “ Malam itu juga sama dengan malam yang lalu, kami tidak berhasil memperbaiki radio itu hingga dapat menerima siaran dari luar. Tetapi Tuan Abdoessoeki seorang yang sabar, dengan keringat meleleh di dahinya dia bekerja keras. Kira-kira pukul 1.00 dini hari barulah kami berhasil menangkap salah satu stasiun, tetapi suaranya belum bersih, begitu jauh kedengaran hingga agak sukar untuk mendengar perkataannya. Tetapi kami sungguh bergembira karena akhirnya kami berhasil juga. Siang harinya Tuan Abdoessoeki tidak membuang waktu dengan percuma. Dia mempelajari kembali buku-buku tentang radio yang masih ada di rumahnya. Pada malam itu setelah dia dapat membetulkan kesalahannya, maka kami dapat mendengar siaran dengan lebih jelas dari stasiun-stasiun radio Ceylon (Srilanka), Australia dan New Delhi. Tanggal 30 September 1945 merupakan tanggal bersejarah bagi kami. Pada malamnya seperti biasa kami bertiga berkumpul di kantorku untuk mendengar siaran radio secara rahasia. Secara kebetulan kami dapat menangkap sebuah siaran berbahasa Indonesia. Alangkah terperanjatnya ketika kami mendengar penyiarnya dengan suara penuh semangat mengucapkan: Radio Republik Indonesia Bandung dan siaran itu disambung pula dengan sebuah pidato dari Menteri Urusan Umum Republik Indonesia, R. Abikusno. Kami bertiga terpesona dan tak dapat berkata-kata sejurus lamanya. Kami sungguh gembira karena itulah pertama kali kami mendengar secara resmi bahwa Indonesia telah merdeka dan menjadi sebuah negara republik.” tulis Abdullah pada halaman 45 sampai 46. 

Bagi pelajar yang memiliki peminatan kepada sejarah Aceh, buku ini layak direkomendasikan mengingat buku ini benar-benar memberikan gambaran yang luas tentang kondisi Aceh di awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia. Dari buku ini pula kita mengenal sepak terjang tokoh-tokoh Aceh dalam usaha menjaga kemerdekaan yang masih seumur jagung. Perjalanan Abdullah Hussain dalam kaitan tugasnya sebagai Kepala Polisi Langsa juga memberikan gambaran kepada kita mengenai kondisi hampir seluruh wilayah Aceh pada masa itu. Buku ini juga secara tidak langsung memperkenalkan pada kita istilah-istilah Jepang maupun Belanda yang masih dipakai pada saat itu.

Dalam buku ini kita mengetahui betapa vitalnya fungsi kereta api pada masa awal kemerdekaan di Aceh. Selain kereta api, sulitnya kondisi transportasi darat lain juga diberi gambaran dengan detail. Bagaimana truk barang biasa membawa penumpang dari Banda Aceh ke Medan maupun sebaliknya pada masa itu. Kondisi jalan yang masih jauh dari kata layak juga menyebabkan jarak tempuh pada masa itu menjadi sangat jauh dibandingkan kondisi hari ini.

Di bagian hampir akhir dari buku ini, Abdullah menceritakan sekelumit kisah ketika dia dan rekan-rekannya memberi penerangan kepada masyarakat Meureudu tentang arti dan tujuan kemerdekaan. “Di Meureudu aku telah mendapat gagasan baru tentang Pancasila. Entah bagaimana aku telah dapat membandingkan Pancasila itu dengan rukun islam yang lima – Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kalimah Syahadat, Kebangsaan dengan Shalat, Kemanusiaan dengan Puasa, Keadilan Sosial dengan Zakat Fitrah dan Demokrasi dengan Naik Haji.” tulis Abdullah pada halaman 240.

Pada bagian 37 Abdullah menceritakan pengalamannya ketika ditugaskan oleh Kepala Polisi Pusat di Kutardja (istilah Kapolda pada masa itu) untuk menyelidiki latar belakang pembunuhan dua orang bangsawan di Trienggadeng. “Seorang perempuan bangsawan istri seorang bekas uleebalang yang telah mati dibunuh dalam revolusi sosial telah dibunuh pula dengan kejamnya ketika ia sedang berbuka puasa.”  Tak lama berselang dari pembunuhan di Trienggadeng itu terjadi pula pembunuhan kedua. “...karena tak lama kemudian kami menerima laporan baru bahwa pada salah satu tempat di Meureudu telah dijumpai mayat seorang bangsawan yang telah ditanam tubuhnya saja sedangkan kakinya masih terjungkit ke luar. Waktu diperiksa ternyata bahwa bangsawan itu tak lain daripada orang yang pernah kulihat  ketika tangannya dicium oleh rakyat tidak lama dulu.”

Secara tersirat Abdullah menceritakan bagaimana konflik kepentingan yang terjadi antara kaum ulama dengan kaum bangsawan berlangsung secara terbuka dan sadis di Meureudu pada masa awal kemerdekaan. “Golongan yang sedang memegang tampuk pemerintahan sekarang umumnya terdiri dari orang-orang Poesa ataupun penyokong-penyokongnya. Ada diantara penyokong-penyokong Poesa itu hanya ikut-ikutan saja, untuk mencari pangkat ataupun pengaruh. Biasanya orang-orang yang seperti inilah yang mengeruhkan keadaan, tidak saja di Aceh tetapi juga dimana-mana. Mereka seringkali betindak tanpa bertanggung jawab dan tindakannya itu meninggalkan akibat yang tidak baik kepada orang-orang yang benar-benar jujur dalam cita-citanya. Orang-orang ini yang sedang memegang kekuasaan tidak suka melihat orang-orang bangsawan itu masih juga dihormati rakyat. Dengan cara baik ataupun dengan cara kasar, kebiasaan itu mesti dihapuskan dan salah satu cara ialah menyingkirkan orang-orang bangsawan itu dari muka bumi ini.” tulis Abdullah pada halaman 241.   

Memulai bagian terakhir dari buku ini Abdullah menulis, “Keadaanku sekarang sudah terasa terjepit benar. Aku merasa keselamatan diriku selalu saja terancam. Tetapi aku tidak dapat memastikan darimana ancaman itu datang. Hanya aku mengira-ngira saja bahwa karena aku terlalu banyak mengetahui tentang keburukan politik beberapa orang terkemuka, maka mungkin pada satu saat nanti aku akan dilenyapkan dari  muka bumi ini.” Ancaman atas keselamatan Abdullah semakin nyata. Pernah suatu malam ketika hujan lebat, sebuah mobil tanpa plat nomor polisi berhenti di rumah tetangganya di Spoordijk. Seseorang dengan jas hujan turun dan menanyakan pada tentangga Abdullah apakah dia ada di rumah. Saat itu orang yang memiliki mobil masih sangat sedikit. Melihat sekilas dari kejauhan, Abdullah langsung mengenali mobil siapa yang berhenti di depan rumah tetangganya itu. Sejak malam itu Abdullah merasa harus segera meninggalkan Aceh.

“Selang beberapa hari kemudian dengan diam-diam akupun meninggalkan Kotaraja menuju ke Langsa untuk mencari kapal buat menyeberang ke Tanah Melayu. Malangnya di Langsa tidak ada kapal yang berani masuk pada waktu itu, karena blokade Belanda terlalu kuat tak jauh dari Telaga Tujuh. Aku kemudian mendapat kabar bahwa di Idi ada sebuah motorboat dari Pulau Pinang yang akan berangkat dalam beberapa hari itu, maka dengan segera aku mengucapkan selamat tinggal kepada keluargaku di Langsa dan berangkat ke Idi. Setelah dua hari dua malam menunggu waktu yang baik, maka pada malam yang ketiga barulah motorboat itu berangkat meninggalkan Kuala Idi menuju ke Pulau Pinang. Aku pun meninggalkan daerah Aceh dengan segala peristiwanya!” begitulah Abdullah menutup kisahnya seputar PERISTIWA KEMERDEKAAN DI ACEH.

Pagi tadi, setelah beberapa hari tidak terhubung ke internet, akhirnya aku kembali bisa berselancar di dunia maya menggunakan komputer kantor. Kata kunci pertama yang ku masukkan adalah Abdullah Hussain. Dari mesin pencari google aku menemukan tulisan Tgk. Faturrachman (Warga Aceh yang tinggal di Malaysia) yang dimuat dalam rubrik Kupi Beungoh Harian Serambi Indonesia edisi Rabu, 16 Desember 2020 berjudul “Tak Banyak yang Tahu, Ini Tiga Bersaudara Keturunan Aceh yang Jadi Tokoh Besar di Malaysia”. Dari tulisan ini ku tahu ternyata Abdullah Hussain bersama dua orang saudara lelaki kandungnya merupakan orang besar di Malaysia. Khusus mengenai Abdullah Hussain, Tgk. Faturrachman menceritakan karir Abdullah yang dimulai sebagai Kepala Polisi Langsa (sesuai dengan kisahnya dalam buku “Peristiwa Kemerdekaan di Aceh”), kemudian menjadi Wedana Langsa, Kepala Polisi Sabang. Tahun 1948 Abdullah kembali ke Pulau Pinang dan menjadi wakil pemerintah Aceh sambil merangkap manajer Cardova Trading.co, kemudian manajer Pacific Trading.co di Phuket Thailand.

Abdullah Hussain adalah seorang penulis prolifik yang sangat tekun dan kaya dengan berbagai pengalaman yang menarik, telah menghasilkan 43 karya yang sangat berharga. Yaitu 27 novel, 1 drama, 1 esei/kritikan, 1 autobiografi, 4 biografi, 5 terjemahan karya sastera dunia dan 6 buah buku ilmiyah umum (https://aceh.tribunnews.com/2020/12/16/tak-banyak-yang-tahu-ini-tiga-bersaudara-keturunan-aceh-yang-jadi-tokoh-besar-di-malaysia?page=2).

 

Datok Abdullah Husain tutup usia pada 31 Desember 2014 di Petaling Jaya, Selangor dalam usia 94 tahun. Bagi masyarakat Pidie Jaya yang ingin membaca kisah lengkap seputar Kemerdekaan di Aceh, buku ini ada dalam koleksi pustaka mini Museum Pidie Jaya. Selamat meneropong masa lalu Pidie Jaya lewat kacamata Abdullah Hussain.

 

*) Resensi oleh Wan Dian Armando di Museum Pidie Jaya pada hari Selasa, 06 Desember 2022

Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay