Saat
bertemu beliau di rumahnya, saya hampir tidak percaya kalau Abua Nurdin sudah
berusia 90 tahun karena melihat fisiknya yang masih kokoh dan gaya bicaranya
yang masih lantang. Niat awal kami sebenarnya hanya ingin mendokumentasikan
benda-benda cagar budaya koleksi beliau yang masih tersimpan dengan sangat
baik.
Melihat
ingatan beliau yang masih sangat kuat, saya lalu mengambil kesempatan untuk
mewawancarai seputar kondisi Meureudu ketika beliau masih kecil. Semua ingatan
beliau yang diceritakan dengan lugas tersebut saya rekam dengan alat perekam di
ponsel dan beberapa poin pentingnya saya catat dalam buku harian.
Selama
kurang lebih dua jam kami ngobrol kilas balik kondisi Meureudu dulu. Diantara
yang paling emosional dari obrolan kami ketika Abua Nurdin menjawab pertanyaan
saya mengenai kisah seputar kemerdekaan di Meureudu. Berulang kali Abua Nurdin
mengucapkan “Jepang memang parahlah. Jepang itu kejam. Banyak rakyat yang mati
semasa Jepang menduduki Meureudu.”
Sekembali
dari rumah Abua Nurdin, rasa penasaranku tentang kondisi Meureudu pada awal
kemerdekaan masih terus mengganggu. Hari itu ku “bongkar” beberapa koleksi buku
yang ada di Pustaka Mini Museum Pidie Jaya. Ditengah pembongkaran itu ku
temukan sebuah buku lama berjudul “Peristiwa Kemerdekaan di Aceh” karangan
Abdullah Hussain.
Dari
sampul belakang buku itu, ku tahu bahwa Abdullah Hussain adalah putra Aceh
kelahiran Yan, Kedah, Malaysia. Ayahnya berasal dari Glee Ceurih, Gampong Aree,
Kecamatan Delima, Pidie. “Kira-kira
sebulan sesudah penyerangan tentara Jepang ke Kedah dari jurusan Thailand,
Abdullah dengan empat orang teman telah menggabungkan diri dalam Fujiwara Kikan
di bawah pimpinan Iwaichi Fujiwara, semacam kolone kelima yang disebarkan ke
Sumatera dan Jawa sebelum penyerangan fisik dilakukan.”
Buku
itu diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1990 di Jakarta. Pada bagian
akhir kata pengantar yang ditulis oleh pihak Balai Pustaka tertulis, “Pikiran Abdullah bukan bertujuan untuk
menyombongkan diri. Bahkan akhirnya ia pun memupus bahwa semuanya ini hanya
merupakan suatu kebetulan. Namun terlepas dari apakah itu suatu kebetulan atau
tidak, inilah bukti bahwa gejolak hati
dan perasaan suatu bangsa yang selalu ditindas dan teraniaya memerlukan picu
untuk pembebasannya. Dan picu itu adalah proklamasi kemerdekaan.”
Buku
setebal 259 halaman itu terdiri atas 40 bagian yang masing-masing bagiannya
memiliki puncak konfliknya sendiri. Walaupun buku ini ditulis dengan gaya novel
(fiksi sejarah menurut pihak Balai pustaka), namun hampir seluruh bagiannya
merupakan kisah nyata yang dialami Abdullah Hussain sejak awal bertugas sebagai
Kepala Polisi Langsa menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Maka tidak
berlebihan kalau saya mengkategorikan buku ini sebagai bagian dari autobiografi
seorang Abdullah Hussain.
Dalam
salah satu bagian di buku itu, Abdullah Hussain menceritakan pertemuannya
dengan Ientje, seorang nona peranakan Cina Belanda yang kebetulan tinggal
berdekatan dengan rumahnya. Belakangan Abdullah mengetahui kalau nona itu
adalah seorang intel. “Dia memberitahu
supaya aku jangan tidur di rumah pada malam hari. Disuruhnya aku
berpindah-pindah selang satu malam karena ada gerakan pembersihan yang akan
dilakukan oleh Jepang sebelum mereka itu dikumpulkan dan dikirim kembali ke
negerinya. Dia juga memperingatkan aku tentang orang-orang Jepang yang menyewa
di sebelah rumahku itu. Katanya Jepang-Jepang itu bukan hanya pegawai tambang
minyak seperti yang selalu aku sangka. Mereka itu khusus ditempatkan oleh
kempeitai untuk mengawasi gerak-gerikku, orang-orang yang datang ke rumahku dan
mungkin juga mereka telah meletakkan alat-alat yang dapat merekam apa yang aku
bicarakan.” tulis Abdullah pada halaman 23.
Pada
bagian selanjutnya, Abdullah juga mengisahkan perjuangannya bersama Tuan
Abdoessoeki -saat itu bertugas sebagai Kepala Kantor Telepon Langsa- yang
pandai memperbaiki radio. “ Malam itu
juga sama dengan malam yang lalu, kami tidak berhasil memperbaiki radio itu
hingga dapat menerima siaran dari luar. Tetapi Tuan Abdoessoeki seorang yang
sabar, dengan keringat meleleh di dahinya dia bekerja keras. Kira-kira pukul
1.00 dini hari barulah kami berhasil menangkap salah satu stasiun, tetapi
suaranya belum bersih, begitu jauh kedengaran hingga agak sukar untuk mendengar
perkataannya. Tetapi kami sungguh bergembira karena akhirnya kami berhasil
juga. Siang harinya Tuan Abdoessoeki tidak membuang waktu dengan percuma. Dia
mempelajari kembali buku-buku tentang radio yang masih ada di rumahnya. Pada
malam itu setelah dia dapat membetulkan kesalahannya, maka kami dapat mendengar
siaran dengan lebih jelas dari stasiun-stasiun radio Ceylon (Srilanka),
Australia dan New Delhi. Tanggal 30 September 1945 merupakan tanggal bersejarah
bagi kami. Pada malamnya seperti biasa kami bertiga berkumpul di kantorku untuk
mendengar siaran radio secara rahasia. Secara kebetulan kami dapat menangkap
sebuah siaran berbahasa Indonesia. Alangkah terperanjatnya ketika kami
mendengar penyiarnya dengan suara penuh semangat mengucapkan: Radio Republik
Indonesia Bandung dan siaran itu disambung pula dengan sebuah pidato dari
Menteri Urusan Umum Republik Indonesia, R. Abikusno. Kami bertiga terpesona dan
tak dapat berkata-kata sejurus lamanya. Kami sungguh gembira karena itulah
pertama kali kami mendengar secara resmi bahwa Indonesia telah merdeka dan
menjadi sebuah negara republik.” tulis Abdullah pada halaman 45 sampai 46.
Bagi
pelajar yang memiliki peminatan kepada sejarah Aceh, buku ini layak
direkomendasikan mengingat buku ini benar-benar memberikan gambaran yang luas
tentang kondisi Aceh di awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia. Dari buku ini
pula kita mengenal sepak terjang tokoh-tokoh Aceh dalam usaha menjaga
kemerdekaan yang masih seumur jagung. Perjalanan Abdullah Hussain dalam kaitan
tugasnya sebagai Kepala Polisi Langsa juga memberikan gambaran kepada kita
mengenai kondisi hampir seluruh wilayah Aceh pada masa itu. Buku ini juga
secara tidak langsung memperkenalkan pada kita istilah-istilah Jepang maupun
Belanda yang masih dipakai pada saat itu.
Dalam
buku ini kita mengetahui betapa vitalnya fungsi kereta api pada masa awal
kemerdekaan di Aceh. Selain kereta api, sulitnya kondisi transportasi darat
lain juga diberi gambaran dengan detail. Bagaimana truk barang biasa membawa
penumpang dari Banda Aceh ke Medan maupun sebaliknya pada masa itu. Kondisi
jalan yang masih jauh dari kata layak juga menyebabkan jarak tempuh pada masa
itu menjadi sangat jauh dibandingkan kondisi hari ini.
Di
bagian hampir akhir dari buku ini, Abdullah menceritakan sekelumit kisah ketika
dia dan rekan-rekannya memberi penerangan kepada masyarakat Meureudu tentang
arti dan tujuan kemerdekaan. “Di Meureudu
aku telah mendapat gagasan baru tentang Pancasila. Entah bagaimana aku telah
dapat membandingkan Pancasila itu dengan rukun islam yang lima – Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan Kalimah Syahadat, Kebangsaan dengan Shalat, Kemanusiaan dengan
Puasa, Keadilan Sosial dengan Zakat Fitrah dan Demokrasi dengan Naik Haji.” tulis
Abdullah pada halaman 240.
Pada
bagian 37 Abdullah menceritakan pengalamannya ketika ditugaskan oleh Kepala
Polisi Pusat di Kutardja (istilah Kapolda pada masa itu) untuk menyelidiki
latar belakang pembunuhan dua orang bangsawan di Trienggadeng. “Seorang perempuan bangsawan istri seorang
bekas uleebalang yang telah mati dibunuh dalam revolusi sosial telah dibunuh
pula dengan kejamnya ketika ia sedang berbuka puasa.” Tak lama berselang dari pembunuhan di
Trienggadeng itu terjadi pula pembunuhan kedua. “...karena tak lama kemudian kami menerima laporan baru bahwa pada
salah satu tempat di Meureudu telah dijumpai mayat seorang bangsawan yang telah
ditanam tubuhnya saja sedangkan kakinya masih terjungkit ke luar. Waktu
diperiksa ternyata bahwa bangsawan itu tak lain daripada orang yang pernah
kulihat ketika tangannya dicium oleh
rakyat tidak lama dulu.”
Secara
tersirat Abdullah menceritakan bagaimana konflik kepentingan yang terjadi
antara kaum ulama dengan kaum bangsawan berlangsung secara terbuka dan sadis di
Meureudu pada masa awal kemerdekaan. “Golongan
yang sedang memegang tampuk pemerintahan sekarang umumnya terdiri dari orang-orang
Poesa ataupun penyokong-penyokongnya. Ada diantara penyokong-penyokong Poesa
itu hanya ikut-ikutan saja, untuk mencari pangkat ataupun pengaruh. Biasanya
orang-orang yang seperti inilah yang mengeruhkan keadaan, tidak saja di Aceh
tetapi juga dimana-mana. Mereka seringkali betindak tanpa bertanggung jawab dan
tindakannya itu meninggalkan akibat yang tidak baik kepada orang-orang yang
benar-benar jujur dalam cita-citanya. Orang-orang ini yang sedang memegang
kekuasaan tidak suka melihat orang-orang bangsawan itu masih juga dihormati
rakyat. Dengan cara baik ataupun dengan cara kasar, kebiasaan itu mesti
dihapuskan dan salah satu cara ialah menyingkirkan orang-orang bangsawan itu
dari muka bumi ini.” tulis Abdullah pada halaman 241.
Memulai
bagian terakhir dari buku ini Abdullah menulis, “Keadaanku sekarang sudah terasa terjepit benar. Aku merasa keselamatan
diriku selalu saja terancam. Tetapi aku tidak dapat memastikan darimana ancaman
itu datang. Hanya aku mengira-ngira saja bahwa karena aku terlalu banyak
mengetahui tentang keburukan politik beberapa orang terkemuka, maka mungkin
pada satu saat nanti aku akan dilenyapkan dari
muka bumi ini.” Ancaman atas keselamatan Abdullah semakin nyata.
Pernah suatu malam ketika hujan lebat, sebuah mobil tanpa plat nomor polisi
berhenti di rumah tetangganya di Spoordijk. Seseorang dengan jas hujan turun
dan menanyakan pada tentangga Abdullah apakah dia ada di rumah. Saat itu orang
yang memiliki mobil masih sangat sedikit. Melihat sekilas dari kejauhan,
Abdullah langsung mengenali mobil siapa yang berhenti di depan rumah
tetangganya itu. Sejak malam itu Abdullah merasa harus segera meninggalkan
Aceh.
“Selang beberapa hari kemudian dengan diam-diam
akupun meninggalkan Kotaraja menuju ke Langsa untuk mencari kapal buat
menyeberang ke Tanah Melayu. Malangnya di Langsa tidak ada kapal yang berani
masuk pada waktu itu, karena blokade Belanda terlalu kuat tak jauh dari Telaga
Tujuh. Aku kemudian mendapat kabar bahwa di Idi ada sebuah motorboat dari Pulau
Pinang yang akan berangkat dalam beberapa hari itu, maka dengan segera aku
mengucapkan selamat tinggal kepada keluargaku di Langsa dan berangkat ke Idi.
Setelah dua hari dua malam menunggu waktu yang baik, maka pada malam yang
ketiga barulah motorboat itu berangkat meninggalkan Kuala Idi menuju ke Pulau
Pinang. Aku pun meninggalkan daerah Aceh dengan segala peristiwanya!”
begitulah Abdullah menutup kisahnya seputar PERISTIWA KEMERDEKAAN DI ACEH.
Pagi
tadi, setelah beberapa hari tidak terhubung ke internet, akhirnya aku kembali
bisa berselancar di dunia maya menggunakan komputer kantor. Kata kunci pertama
yang ku masukkan adalah Abdullah Hussain. Dari mesin pencari google aku
menemukan tulisan Tgk. Faturrachman (Warga Aceh yang tinggal di Malaysia) yang
dimuat dalam rubrik Kupi Beungoh Harian Serambi Indonesia edisi Rabu, 16
Desember 2020 berjudul “Tak Banyak yang
Tahu, Ini Tiga Bersaudara Keturunan Aceh yang Jadi Tokoh Besar di Malaysia”. Dari
tulisan ini ku tahu ternyata Abdullah Hussain bersama dua orang saudara lelaki
kandungnya merupakan orang besar di Malaysia. Khusus mengenai Abdullah Hussain,
Tgk. Faturrachman menceritakan karir Abdullah yang dimulai sebagai Kepala
Polisi Langsa (sesuai dengan kisahnya dalam buku “Peristiwa Kemerdekaan di
Aceh”), kemudian menjadi Wedana Langsa, Kepala Polisi Sabang. Tahun 1948
Abdullah kembali ke Pulau Pinang dan menjadi wakil pemerintah Aceh sambil
merangkap manajer Cardova Trading.co, kemudian manajer Pacific Trading.co di
Phuket Thailand.
Abdullah Hussain adalah seorang penulis prolifik yang sangat tekun
dan kaya dengan berbagai pengalaman yang menarik, telah menghasilkan 43 karya
yang sangat berharga. Yaitu 27 novel, 1 drama, 1 esei/kritikan, 1 autobiografi,
4 biografi, 5 terjemahan karya sastera dunia dan 6 buah buku ilmiyah umum (https://aceh.tribunnews.com/2020/12/16/tak-banyak-yang-tahu-ini-tiga-bersaudara-keturunan-aceh-yang-jadi-tokoh-besar-di-malaysia?page=2).
Datok Abdullah Husain tutup usia pada 31 Desember 2014 di Petaling
Jaya, Selangor dalam usia 94 tahun. Bagi masyarakat Pidie Jaya yang ingin
membaca kisah lengkap seputar Kemerdekaan di Aceh, buku ini ada dalam koleksi
pustaka mini Museum Pidie Jaya. Selamat meneropong masa lalu Pidie Jaya lewat
kacamata Abdullah Hussain.
*) Resensi oleh Wan Dian Armando di Museum Pidie Jaya pada hari Selasa, 06 Desember 2022
0 Komentar