Mengenang kekosongan jabatan Wakil Presiden Indonesia selama 17 tahun

Tirto.ID


BUDAYAPIJAY.OR.ID - Pada hari Senin, 23 Juli 1956, Ketua DPR Sartono terkejut menerima sepucuk surat. Pengirim juga mencantumkan nama Wakil Presiden Mohammad Hatta. Belum reda keheranannya, Sartono kembali mengernyitkan dahi membaca isi surat dari Hatta tertanggal 20 Juli 1956 yang berbunyi:

"Merdeka, dengan ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi".

Menerima surat itu, DPR mula-mula dengan halus menolak permintaan Hatta. Caranya dengan tidak menanggapi atau tidak membalas pesan tersebut. Apalagi, ini bukan kali pertama Hatta mengirimkan surat serupa.

Setahun sebelumnya, tahun 1955, Hatta juga pernah mengirim surat yang berisi niatnya mundur sebagai wakil presiden.

Ketika itu Hatta dengan tegas berkata, "Sejarah Dwitunggal dalam politik Indonesia tamat, setelah UUD 1950 menetapkan sistem Kabinet Parlementer".

Pasalnya, jika sudah dibentuk Parlemen dan Konstituante yang dipilih oleh rakyat dan menggunakan Kabinet Parlementer, maka Presiden hanya bertindak sebagai Kepala Negara. Kepala negara hanya berperan simbolik, sehingga wakil presiden tidak dibutuhkan lagi.

Saat itu, surat Hatta tidak digubris DPR dengan harapan agar niat mengundurkan diri itu hilang dengan sendirinya. Apalagi, DPR jelas tak mau membiarkan Soekarno-Hatta pisah di tengah jalan.

Namun, kali ini Hatta tidak main-main. Pada Jumat, 23 November 1956, ia mengirim lagi surat ke DPR yang meminta penjelasan terkait tindak lanjut dari surat sebelumnya. DPR kemudian memberlakukan surat tersebut sebagai suatu hal yang mendesak.

Beberapa kali rapat maraton digelar di gedung DPR yang saat itu masih berada di Lapangan Banteng Timur, bersebelahan dengan gedung Kementerian Keuangan saat ini. Untuk memfasilitasi pembahasan surat Mohammad Hatta, dibentuklah panitia permusyawaratan.

Rapat pertama berlangsung pada Rabu, 28 November 1956. Dalam rapat tersebut dihadiri 145 anggota DPR dan hanya berlangsung selama 2 menit. Ketua DPR Sartono menanyakan kepada panitia tentang laporan yang mereka buat sebelumnya tentang pertemuan dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Panitia belum siap dengan laporan tersebut.

Sidang kemudian dilanjutkan keesokan harinya, Kamis, 29 November. Kali ini hadir 200 anggota DPR dan sidang hanya berlangsung selama 7 menit. Panitia melaporkan kepada Ketua DPR bahwa perlu bertemu dengan Presiden Sukarno untuk membicarakan niat Hatta. Sukarno sendiri baru akan menerima kunjungan panitia pada Jumat, 30 November.

Rapat untuk memutuskan diterima atau tidaknya keinginan Hatta dilanjutkan pada Jumat malam, 30 November 1956. Jumlah anggota yang hadir bertambah dan dimeriahkan dengan hadirnya 14 menteri dari kabinet Ali Sastroamidjojo

Malam itu, DPR setuju memenuhi permintaan Hatta. Maka, seminggu setelah Hatta mengirim surat itu, DPR setuju membebas tugaskan Hatta. Dengan demikian, terhitung sejak Sabtu, 1 Desember 1956, Mohammad Hatta resmi mengakhiri jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia yang dijabatnya selama 11 tahun.

Tak berhenti di situ, DPR kemudian membahas siapa yang akan menggantikan Hatta sebagai wakil presiden. Konstitusi hanya mengatur bahwa Presiden dalam menjalankan tugasnya mempunyai Wakil Presiden untuk membantunya. Jadi siapa yang akan membantu presiden jika wakilnya tidak ada? Ini sama sekali tidak dijelaskan dalam Konstitusi.

Sidang juga diwarnai pro-kontra soal pencalonan kembali wakil presiden. Siapa yang akan menggantikan Hatta? Sayang perbincangan ini tak kunjung usai dan nyatanya, posisi Wakil Presiden RI saat itu sempat lowong selama 17 tahun.

Baru pada tahun 1973 kursi wakil presiden kembali diduduki oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay