BUDAYA MEMERANGI KORUPSI

BUDAYA MEMERANGI KORUPSI

Oleh: Wan Dian Armando*

praharamenulis.blogspot.com

            Korupsi”, kata yang belakangan ini sering merasuki jalan pikiran kita. Kata  ini seolah zikir wajib yang tak boleh ditinggalkan oleh setiap pengisi berita baik media cetak maupun elektronik. Tidak hanya media, kalangan awam mulai orang tua sampai anak-anak juga sangat akrab dengan kata yang satu ini. Seolah-olah sudah menjadi santapan sehari-hari terkadang kita tidak lagi menghiraukan kata ini.

Setiap kali menonton TV, mendengarkan radio, bahkan membaca  koran, korupsi selalu menjadi topik hangat yang diperbincangkan. Kita patut senang setiap kali mendengar pembongkaran kasus korupsi. Semakin banyak kasus korupsi yang terbongkar, itu artinya semakin banyak orang-orang rakus di negeri ini yang tertangkap. Tapi seiring dengan itu kita wajib prihatin,  karena semakin banyak kasus korupsi yang terbongkar, itu membuktikan betapa bobroknya moral penyelenggara negara kita.

Ironisnya, tindakan ini tidak hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berkedudukan tinggi. Seorang pegawai biasa di perpajakan saja bisa melakukan korupsi hingga miliaran  rupiah, apalagi pejabat setingkat bupati dan gubernur. Tidak sedikit bupati atau gubernur di Indonesia yang telah terbukti sebagai koruptor dan masuk bui. Parahnya lagi, polisi yang seharusnya menjadi contoh dalam penegakan hukum, justru ikut-ikutan tergiur dengan tindakan bejat ini. Mulai dari polisi berpangkat rendahan sebatas pengatur lalu lintas, sampai jenderal yang berwenang mengadakan alat penguji kemampuan berkendara di Korlantas.

Di tengah kesulitan hidup yang kian menjepit sebagian besar rakyat di negeri ini, mereka masih harus menyaksikan betapa bejatnya tingkah para koruptor. Mereka harus menanggung akibat dari rakusnya para koruptor. Uang miliaran rupiah yang seharusnya dipergunakan untuk mensejahterakan mereka, malah habis disalahgunakan untuk kepentingan para koruptor yang tidak bertanggung jawab. Karena sedemikian dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam kategori 3 kejahatan luar biasa (extraordinary crime) selain narkoba dan terorisme.

Jika kita perhatikan, mereka yang masih diduga maupun yang telah terbukti sebagai koruptor rata-rata merupakan golongan orang-orang berpendidikan tinggi. Tidak hanya S1, S2 bahkan profesor sekalipun tidak terlepas dari jerat kasus korupsi. Terkadang kita bingung melihat fakta ini. Bukankah seharusnya semakin tinggi pendidikan seseorang akhlaknya juga semakin paripurna. Ternyata kenyataannya tidak demikian. Tingginya pendidikan tidak menjamin kesempurnaan akhlak seseorang. Hal ini membuktikan bahwa sistem pendidikan nasional kita belum berhasil mencetak generasi yang unggul dan berkarakter.

Setiap kali pergantian kurikulum, seyogyanya semakin bergerak kearah yang lebih baik, kita belum melihat dampak yang signifikan dari pergantian kurikulum tersebut. Hal ini bukan semata-mata kesalahan kurikulum. Bisa saja kurikulum yang disusun telah sempurna, namun cara mentransfer maksud dari kurikulum tersebut yang masih dipertanyakan. Kalau sudah begini, lagi-lagi dunia pendidikan yang dipersalahkan. Guru-guru kita yang mengemban tugas mulia sebagai pendidik kembali dipertanyakan kredibilitasnya.

Ditengah keputusasaan kita akan pemberantasan korupsi, kita mulai tertarik mencari-cari apa yang menjadi faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Dari beberapa kasus korupsi yang telah terbongkar, setidaknya ada dua hal mendasar yang dapat kita simpulkan sebagai faktor penyebab seseorang melakukan korupsi. Dua hal tersebut adalah sistem yang terbangun dalam suatu institusi menyebabkan setiap orang seakan diberi kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Misalnya, masyarakat kita terbiasa memberikan uang tambahan kepada petugas birokrasi agar urusannya cepat selesai. Kesannya memang tidak ada yang salah dengan tindakan itu. Wajar-wajar saja jika kita memberikan penawar letih pegawai birokrasi. Biasanya masyarakat menyebut secara halus sebagai uang rokok, uang permen, uang tinta atau uang-uang lain dengan istilahnya masing-masing. Jumlah uang tersebut memang tidaklah besar. Tapi percayalah, sekecil apapun uang yang kita berikan, itu sama artinya kita turut mendukung tumbuh suburnya tindak pidana korupsi.

Selain itu, hukuman yang diterima para koruptor juga tidak memberikan efek jera. Bayangkan saja, uang miliaran rupiah yang dikorupsi, hanya dikenai denda ratusan juta. Begitu juga dengan hukuman kurungan. Kita belum pernah mendengar hakim menjatuhkan vonis penjara seumur hidup bagi seorang terdakwa korupsi. Jika dibandingkan dengan pelaku tindak pidana lain, vonis bagi para koruptor sungguh sangat kecil. Sehingga mereka anggap enteng dengan korupsi. Belum lagi ada kemungkinan mereka bisa menyuap para petugas yang akan dijumpainya di penjara. Hal ini bukan isapan jempol belaka. Sudah banyak narapidana kasus korupsi yang ketahuan menyuap petugas penjara demi fasilitas “berlebih” yang bisa mereka nikmati layaknya hotel bintang lima.

Diatas itu semua, yang paling berpengaruh adalah kurangnya pemahaman mereka terhadap ajaran agama. Jika mereka benar-benar paham ajaran agama, kita berani jamin tidak ada orang yang berani korupsi. Sebab agama manapun senantiasa mengajarkan kejujuran. Agama selalu mengingatkan bahwa Tuhan senantiasa mengawasi segala tindak tanduk manusia. Agama memberikan sanksi yang tegas kepada setiap manusia yang melanggar ketentuan Tuhan. Hal terkecil sekalipun yang dilakukan manusia, tidak akan luput dari pengawasan Tuhan. Kita mungkin bisa ngakali rekaman CCTV dan fingerprint, tapi jangan lupa ada Raqib dan Atid yang selalu uptodate dengan gerak gerik kita.

Adapun pihak yang dirasa paling bertanggung jawab dalam budaya memerangi korupsi adalah orang tua. Orang tua tidak bisa sepenuhnya menyerahkan pendidikan anaknya kepada pihak sekolah. Orang tua harus berperan aktif dalam mendidik karakter anak. Karena bagaimanapun juga, orang tua adalah pihak yang paling dekat dengan si anak. Apapun yang dilakukan orang tua, sedikit banyak pasti akan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, orang tua harus menanamkan nilai-nilai wajib kepada anak sejak dini. Nilai wajib tersebut diantaranya, bagaimana menghormati orang tua, bagaimana bersikap dengan lawan jenis, pentingnya kejujuran, serta nilai-nilai wajib lainnya. Yang terpenting dari bagian ini adalah keteladanan yang diberikan orang tua terhadap anak. Karena bagaimanapun juga, anak tidak akan pernah mengikuti kata-kata orang tuanya jika si orang tua tidak mempraktikkan apa yang diucapkannya.

Selain itu, yang paling penting lagi dalam budaya memerangi korupsi sejak dini adalah menanamkan nilai-nilai kejujuran. Banyak hal-hal kecil yang dapat diterapkan orang tua terhadap anak, misalnya meminta kembalian uang setelah anak membeli suatu barang. Walaupun kembaliannya hanya Rp.100,- orang tua harus menanyakan uang kembalian tersebut. Orang tua harus memahamkan kepada anak bahwa sekecil apapun itu, jika bukan haknya dia tidak boleh mengambilnya. Jangan pernah sekali-kali membohongi anak. Karena anak akan segera meniru tindakan itu.

Hal kecil lain yang dapat dilakukan orang tua adalah selalu menceritakan kisah-kisah teladan yang berkaitan dengan kejujuran. Melalui kisah tersebut, diharapkan si anak benar-benar memahami maksud dari pepatah “Kejujuran adalah mata uang yang berlaku diseluruh dunia”. Pemahaman akan dosa juga harus disampaikan kepada anak sedini mungkin. Orang tua harus benar-benar memahamkan tentang apa itu surga dan neraka. Langkah apa saja yang dapat menyebabkan seseorang masuk surga atau neraka.

Jika kita mulai melakukan hal-hal kecil tersebut dari sekarang, kita bisa optimis Indonesia akan bebas korupsi 20 atau 30 tahun ke depan. Semoga Allah meridhoi segala amal usaha kita.

Amiinn…

 

*)Penulis adalah Pamong Budaya Ahli Pertama pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pidie Jaya

Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay