MEUREUDU DALAM CATATAN R. BROERSMA

Budayapijay.or.id - Senin sore, 27 Maret 2023 seperti biasa saya melakukan absen fingerprint pulang di Ruang Bagian Umum dan Kepegawaian. Setelah absen, saya sempatkan berbincang dengan beberapa rekan yang kebetulan sedang absen bersama-sama. Di tengah obrolan, Secara tak sengaja saya melihat sebuah buku tua tergeletak diatas meja kerja Pak Hanafiah (staf kepegawaian).



Buku karangan R. Broersma ini berjudul asli Atjeh Als Land Voor Handel en Bedrijf terbitan Gebrs Cohen di Utrecht tahun 1926. Buku asli versi pdf yang saya download dari perpusnas.go.id berisi 136 halaman. Tahun 2008 buku ini diterjemahkan oleh Almarhum Pak Rusdi Sufi -Dosen Senior Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP USK, sempat belajar di Universiteit Leiden, “mengurus” Kerkhof Poetjut hingga akhir hayatnya-  atas dukungan Badan Arsip dan Perpustakaan NAD yang saat itu dipimpin oleh Drs. Kamaruddin H. Husein, M.Si.



R. Broersma sendiri berdasarkan konfirmasi saya kepada Pak Mawardi Umar -Dosen Senior Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP USK, Alumni Pasca Sarjana Universiteit Leiden, sempat memimpin PDIA- merupakan seorang wartawan aktif di era kolonial. Beberapa karya R. Broersma yang saya dapatkan lewat penelusuran google, misalnya:      

1.      De Lampongsche Districten, Batavia: Jawasche Boekhandel and Press, 1916.

2.      Koopvaardij in de Molukken, 1934.

3.      Besoeki: Een Gewest in Opkomst, Amsterdam: Scheltema & Holkema, 1912.

4.      De Lampongsche Districten, Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1919.

5.      De Ontlinking van Deli Deel I, Batavia: De Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1919.

 

Buku versi terjemahan ini berisi 208 halaman yang terdiri atas dua puluh bab. Bab I dimulai dengan pendahuluan berisi gambaran umum tentang Aceh saat itu. Di bab-bab berikutnya, R. Broersma bercerita tentang Tamiang, Langsa, Peureulak, Idi, Lhoksukon, Samudera, Peusangan, Gayo, Pidie, dan Aceh Besar. Pada Bab 13, R. Broersma secara khusus menggambarkan kondisi Meureudu saat itu dengan judul “Daerah Persawahan Pidie” yang berjudul asli Het Groote Rijstland Pidie.

Begini ceritanya:  

“Dari Bireun, sebuah jalan membentang dan sebuah jalur kereta api untuk akhirnya mencapai Samalanga. Di onderafdeling Meureudu dari sebuah afdeling yang pada tahun lalu baru saja dibentuk; afdeling Pidie dengan onderafdeling Sigli, Lamlo, Padang Tiji dan Meureudu. Sebelum tahun 1922 daerah ini termasuk di wilayah pantai Utara Aceh tetapi disini orang hanya perlu melakukan perjalanan untuk mengetahui bahwa ada alasan untuk membentuk sebuah afdeling Pidie secara khusus.

Pegunungan disini membentang rangkaiannya sampai ke dekat pantai. Dataran yang tidak begitu luas dimanfaatkan oleh penduduk di sepanjang aliran sungai Krueng Meureudu, Krueng Beuracan dan apapun nama yang lain, untuk membangun kampung mereka dan membuka persawahannya. Disini kembali kita menemukan suatu kawasan padi, lada, pinang, dan juga pohon kelapa.

Pada sarana kehidupan di daerah onderafdeling Meureudu tidak terdapat kekurangan. Selain tanaman padi yang dalam beberapa tahun memberikan hasil panen yang berlimpah, ada usaha penangkapan ikan di Panteraja dan di daerah tersebut masih dibuka kebun-kebun lada. Pinang dan kopra selanjutnya diekspor dan pengangkutan dilakukan lewat pelabuhan Pidie (Lhokseumawe).

Industri kecil atas kerajinan emas, anyam-anyaman, pembuatan perahu dan garam. Orang-orang memiliki ternak terutama sapi dan kerbau. Ekspor berlangsung ke Medan, harga untuk sapi mencapai 20 – 70 gulden sementara kerbau lebih mahal lagi. Hewan ini dikurung ke dalam kandang ketika padi sudah berada di sawah, kerusakan tanaman oleh hewan akan dijatuhi dengan denda berat. Tanaman padi dikerjakan oleh penduduk dengan penuh antusias. Di daerah Trienggadeng, istri uleebalang memberikan contoh dan menggarap sawahnya. Di daerah ini ditemukan banyak wanita yang bekerja di sawah.

Namun penduduk Meureudu tidak memiliki kemakmuran sesuai dengan mata pencahariannya. Penduduk onderafdeling ini berjumlah 25 ribu jiwa, penduduk Meureudu sendiri mencapai 12 ribu jiwa. Pembagian penghasilan tidak merata, suatu kondisi yang sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa perdagangan dikelola oleh orang Keling, Cina dan Arab yang membeli untuk ekspor ke Penang.

Beberapa tahun lalu di daerah ini terjadi kesulitan keuangan. Orang menggunakan sen dollar dan terjadi kekurangan uang. Para pedagang berusaha untuk memanfaatkan kondisi ini demi keuntungan mereka dan memperoleh bunga tinggi. Di sebuah pasar seperti Meureudu, kedai-kedai sangat padat, setiap hari ratusan gulden mengalir ke sana, tetapi tidak ada penduduk yang sejahtera yang hidup akibat aktifitas para pedagang ini. Pertumbuhan kredit lama-lama menimbulkan perubahan. Juga kepemilikan tanah di tangan beberapa orang telah mencegah pemerataan kesejahteraan. Selain para kepala daerah, ada banyak kepala adat (uleebalang) kecil dan diantara mereka terdapat pemilik tanah yang luas dimana penggarap lahan itu mendapatkan penghasilan yang berbeda-beda.

Arti penting meureudu mungkin meningkat dengan pembabatan kayu dan penambangan minyak bumi. Kekuasaan Kerajaan Pidie telah berlalu empat abad yang lalu, ketika kebanggaan bagi kebesaran daerah itu masih ada pada mereka yang berusaha mengembangkan dirinya sebagai kepala adat. Kenang-kenangan masih hidup, keinginan keturunan raja tetap ada. Suatu impian akan memperkuat keinginan ini. Selanjutnya ada suatu pertanda; pedang dipungut dan perang diantara para uleebalang dari daerah-daerah besar dan kecil dimulai. Kini siapa yang akan tampil sebagai pemenag dari serangkaian peperangan ini? Itu berakhir tanpa jawaban.

Perlawanan terhadap pemerintah Belanda telah menyatukan semua unsur-unsur Aceh ini dan setelah itu mereka tumbuh. Perdamaian dan peperangan yang terjadi menjadi berkah bagi daerah dan penduduknya. Para kepala tertinggi berasal dari Pedir (Pidie) dan dari Keumangan; diantara mereka terdapat keseimbangan di wilayah lama dan mereka ingin menguasai semuanya. Tetapi ini tidak berlangsung dan kini sepanjang tahun terdapat ketertiban dimana semua orang tunduk kepada pemerintah.

Saling berperang dilarang, keinginannya tidak ada manfaatnya dan mimpi-mimpi hanya merupakan penipuan. Masih ada mimpi-mimpi seperti yang disebutkan sebagai Raja Pidie tanpa Mahkota, tetapi semua orang kemudian menyadari kewajibannya dan ini bisa menghambat pemerintah Belanda untuk menjalankan tugasnya. Pembentukan afdeling Pidie secara khusus pada tahun lalu jelas ikut membantu menghancurkan semua takhayul itu.

Di onderafdeling Sigli dijumpai 23 daerah dimana kebanyakan dibagi menjadi mukim. Pada mulanya mukim ini merupakan kelompok kampung yang bersama-sama memiliki sebuah masjid. Kemudian mukim ini menjadi suatu daerah uleebalang, sebuah distrik dengan wakil kepala adat, imam atau uleebalang cut.

Dari Meureudu kita menjumpai daerah Njong, sebagian besar merupakan perbukitan dan pegunungan, hanya dataran ditemukan di daerah pantai. Jalan air yang membentang di sepanjang jalan, (bukan jalan kereta api yang berbelok ke barat) mencakup panjang tertentu dan memberikan pemandangan pada lautan terbuka. Ini baru berakhir di sebelah barat dari tanah Njong yang baik untuk persawahannya.

Kepala daerah ini sangat terkenal karena kekayaannya, dari situ terbukti bahwa penghasilannya sangat tinggi berkat pemungutan wase tanah yang disini sangat subur. Tanpa proyek pengairan disini orang tidak akan bisa mengatasi banjir seperti yang diharapkan. Demi kepentingan tanaman padi, dan dibawah pimpinan para kepalanya (uleebalang) penduduk membuat proyek-proyek sederhana; yang lain dikerjakan oleh Dinas PU, dinas daerah dan dari kas daerah. Sebagian besar ini sering muncul dalam bentuk proyek yang bermanfaat dan tidak bermanfaat ketika wawasan dan pelaksanaannya tidak benar atau jarang mencapai tujuan yang ditetapkan, suatu kelemahan dalam pelaksanaan proyek yang umumnya berlaku di Indonesia. Tetapi orang sering melupakan sisi lain dari sifat manusia ini dan kita kembali menjumpai bentangan sawah yang luas, suatu kumpulan lahan dengan pemukiman di tengahnya dan jauh di pedalaman gunung emas Aceh terdapat satu komplek yang disebut Seulawah Agam.”

Bab ini sebenarnya berisi 1954 kata, namun karena keterbatasan ruang pada media ini, saya hanya membagikan cerita seputar Meureudu. Pada bagian selanjutnya, R. Broersma memberikan gambaran seputar Sigli dan kawasan sekitarnya. Lagipula, secara administratif kenegaraan sejak Januari 2007 Meureudu bukan lagi bagian dari afdeling (Kabupaten dalam istilah sekarang-red) Pidie. Namun secara historis dan sisi kebudayaannya, ibarat dua sisi mata uang, Pidie dan Pidie Jaya tak akan pernah bisa dipisahkan. Beberapa ejaan nama tempat dalam catatan R. Broersma ini juga sudah saya sesuaikan dengan kondisi terkini.

Semoga kita dapat berkaca dan mengambil pelajaran dari catatan itu untuk merencanakan masa depan Pidie Jaya yang lebih gemilang berlandaskan agama dan budayanya. Bagi yang ingin membaca versi lengkapnya silahkan berkunjung ke Museum Pidie Jaya atau mengakses dalam koleksi digital Pustaka Museum Pidie Jaya melalui laman budayapijay.or.id kalau sudah terbit nanti. (*)

Penulis: WDA

Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay