Buku
karangan R. Broersma ini berjudul asli Atjeh
Als Land Voor Handel en Bedrijf terbitan Gebrs Cohen di Utrecht tahun 1926.
Buku asli versi pdf yang saya download dari perpusnas.go.id
berisi 136 halaman. Tahun 2008 buku ini diterjemahkan oleh Almarhum Pak Rusdi
Sufi -Dosen Senior Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP USK, sempat belajar di
Universiteit Leiden, “mengurus” Kerkhof Poetjut hingga akhir hayatnya- atas dukungan Badan Arsip dan Perpustakaan NAD
yang saat itu dipimpin oleh Drs. Kamaruddin H. Husein, M.Si.
R. Broersma
sendiri berdasarkan konfirmasi saya kepada Pak Mawardi Umar -Dosen Senior
Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP USK, Alumni Pasca Sarjana Universiteit Leiden,
sempat memimpin PDIA- merupakan seorang wartawan aktif di era kolonial. Beberapa
karya R. Broersma yang saya dapatkan lewat penelusuran google, misalnya:
1. De Lampongsche Districten, Batavia: Jawasche
Boekhandel and Press, 1916.
2. Koopvaardij in de Molukken, 1934.
3. Besoeki: Een Gewest in Opkomst, Amsterdam:
Scheltema & Holkema, 1912.
4. De Lampongsche Districten, Batavia:
Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1919.
5. De Ontlinking van Deli Deel I, Batavia:
De Javasche Boekhandel & Drukkerij, 1919.
Buku versi
terjemahan ini berisi 208 halaman yang terdiri atas dua puluh bab. Bab I
dimulai dengan pendahuluan berisi gambaran umum tentang Aceh saat itu. Di
bab-bab berikutnya, R. Broersma bercerita tentang Tamiang, Langsa, Peureulak,
Idi, Lhoksukon, Samudera, Peusangan, Gayo, Pidie, dan Aceh Besar. Pada Bab 13,
R. Broersma secara khusus menggambarkan kondisi Meureudu saat itu dengan judul “Daerah
Persawahan Pidie” yang berjudul asli Het
Groote Rijstland Pidie.
Begini ceritanya:
“Dari
Bireun, sebuah jalan membentang dan sebuah jalur kereta api untuk akhirnya
mencapai Samalanga. Di onderafdeling Meureudu dari sebuah afdeling yang pada
tahun lalu baru saja dibentuk; afdeling Pidie dengan onderafdeling Sigli,
Lamlo, Padang Tiji dan Meureudu. Sebelum tahun 1922 daerah ini termasuk di
wilayah pantai Utara Aceh tetapi disini orang hanya perlu melakukan perjalanan
untuk mengetahui bahwa ada alasan untuk membentuk sebuah afdeling Pidie secara
khusus.
Pegunungan
disini membentang rangkaiannya sampai ke dekat pantai. Dataran yang tidak
begitu luas dimanfaatkan oleh penduduk di sepanjang aliran sungai Krueng
Meureudu, Krueng Beuracan dan apapun nama yang lain, untuk membangun kampung
mereka dan membuka persawahannya. Disini kembali kita menemukan suatu kawasan
padi, lada, pinang, dan juga pohon kelapa.
Pada
sarana kehidupan di daerah onderafdeling Meureudu tidak terdapat kekurangan.
Selain tanaman padi yang dalam beberapa tahun memberikan hasil panen yang
berlimpah, ada usaha penangkapan ikan di Panteraja dan di daerah tersebut masih
dibuka kebun-kebun lada. Pinang dan kopra selanjutnya diekspor dan pengangkutan
dilakukan lewat pelabuhan Pidie (Lhokseumawe).
Industri
kecil atas kerajinan emas, anyam-anyaman, pembuatan perahu dan garam.
Orang-orang memiliki ternak terutama sapi dan kerbau. Ekspor berlangsung ke
Medan, harga untuk sapi mencapai 20 – 70 gulden sementara kerbau lebih mahal
lagi. Hewan ini dikurung ke dalam kandang ketika padi sudah berada di sawah, kerusakan
tanaman oleh hewan akan dijatuhi dengan denda berat. Tanaman padi dikerjakan
oleh penduduk dengan penuh antusias. Di daerah Trienggadeng, istri uleebalang
memberikan contoh dan menggarap sawahnya. Di daerah ini ditemukan banyak wanita
yang bekerja di sawah.
Namun
penduduk Meureudu tidak memiliki kemakmuran sesuai dengan mata pencahariannya.
Penduduk onderafdeling ini berjumlah 25 ribu jiwa, penduduk Meureudu sendiri
mencapai 12 ribu jiwa. Pembagian penghasilan tidak merata, suatu kondisi yang
sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa perdagangan dikelola oleh orang
Keling, Cina dan Arab yang membeli untuk ekspor ke Penang.
Beberapa
tahun lalu di daerah ini terjadi kesulitan keuangan. Orang menggunakan sen
dollar dan terjadi kekurangan uang. Para pedagang berusaha untuk memanfaatkan
kondisi ini demi keuntungan mereka dan memperoleh bunga tinggi. Di sebuah pasar
seperti Meureudu, kedai-kedai sangat padat, setiap hari ratusan gulden mengalir
ke sana, tetapi tidak ada penduduk yang sejahtera yang hidup akibat aktifitas
para pedagang ini. Pertumbuhan kredit lama-lama menimbulkan perubahan. Juga
kepemilikan tanah di tangan beberapa orang telah mencegah pemerataan
kesejahteraan. Selain para kepala daerah, ada banyak kepala adat (uleebalang)
kecil dan diantara mereka terdapat pemilik tanah yang luas dimana penggarap
lahan itu mendapatkan penghasilan yang berbeda-beda.
Arti
penting meureudu mungkin meningkat dengan pembabatan kayu dan penambangan
minyak bumi. Kekuasaan Kerajaan Pidie telah berlalu empat abad yang lalu,
ketika kebanggaan bagi kebesaran daerah itu masih ada pada mereka yang berusaha
mengembangkan dirinya sebagai kepala adat. Kenang-kenangan masih hidup,
keinginan keturunan raja tetap ada. Suatu impian akan memperkuat keinginan ini.
Selanjutnya ada suatu pertanda; pedang dipungut dan perang diantara para
uleebalang dari daerah-daerah besar dan kecil dimulai. Kini siapa yang akan
tampil sebagai pemenag dari serangkaian peperangan ini? Itu berakhir tanpa
jawaban.
Perlawanan
terhadap pemerintah Belanda telah menyatukan semua unsur-unsur Aceh ini dan
setelah itu mereka tumbuh. Perdamaian dan peperangan yang terjadi menjadi
berkah bagi daerah dan penduduknya. Para kepala tertinggi berasal dari Pedir
(Pidie) dan dari Keumangan; diantara mereka terdapat keseimbangan di wilayah
lama dan mereka ingin menguasai semuanya. Tetapi ini tidak berlangsung dan kini
sepanjang tahun terdapat ketertiban dimana semua orang tunduk kepada
pemerintah.
Saling
berperang dilarang, keinginannya tidak ada manfaatnya dan mimpi-mimpi hanya
merupakan penipuan. Masih ada mimpi-mimpi seperti yang disebutkan sebagai Raja
Pidie tanpa Mahkota, tetapi semua orang kemudian menyadari kewajibannya dan ini
bisa menghambat pemerintah Belanda untuk menjalankan tugasnya. Pembentukan
afdeling Pidie secara khusus pada tahun lalu jelas ikut membantu menghancurkan
semua takhayul itu.
Di
onderafdeling Sigli dijumpai 23 daerah dimana kebanyakan dibagi menjadi mukim.
Pada mulanya mukim ini merupakan kelompok kampung yang bersama-sama memiliki
sebuah masjid. Kemudian mukim ini menjadi suatu daerah uleebalang, sebuah
distrik dengan wakil kepala adat, imam atau uleebalang cut.
Dari
Meureudu kita menjumpai daerah Njong, sebagian besar merupakan perbukitan dan
pegunungan, hanya dataran ditemukan di daerah pantai. Jalan air yang membentang
di sepanjang jalan, (bukan jalan kereta api yang berbelok ke barat) mencakup
panjang tertentu dan memberikan pemandangan pada lautan terbuka. Ini baru
berakhir di sebelah barat dari tanah Njong yang baik untuk persawahannya.
Kepala
daerah ini sangat terkenal karena kekayaannya, dari situ terbukti bahwa
penghasilannya sangat tinggi berkat pemungutan wase tanah yang disini sangat
subur. Tanpa proyek pengairan disini orang tidak akan bisa mengatasi banjir
seperti yang diharapkan. Demi kepentingan tanaman padi, dan dibawah pimpinan
para kepalanya (uleebalang) penduduk membuat proyek-proyek sederhana; yang lain
dikerjakan oleh Dinas PU, dinas daerah dan dari kas daerah. Sebagian besar ini
sering muncul dalam bentuk proyek yang bermanfaat dan tidak bermanfaat ketika
wawasan dan pelaksanaannya tidak benar atau jarang mencapai tujuan yang
ditetapkan, suatu kelemahan dalam pelaksanaan proyek yang umumnya berlaku di
Indonesia. Tetapi orang sering melupakan sisi lain dari sifat manusia ini dan
kita kembali menjumpai bentangan sawah yang luas, suatu kumpulan lahan dengan
pemukiman di tengahnya dan jauh di pedalaman gunung emas Aceh terdapat satu
komplek yang disebut Seulawah Agam.”
Bab ini
sebenarnya berisi 1954 kata, namun karena keterbatasan ruang pada media ini,
saya hanya membagikan cerita seputar Meureudu. Pada bagian selanjutnya, R.
Broersma memberikan gambaran seputar Sigli dan kawasan sekitarnya. Lagipula, secara
administratif kenegaraan sejak Januari 2007 Meureudu bukan lagi bagian dari
afdeling (Kabupaten dalam istilah
sekarang-red) Pidie. Namun secara historis dan sisi kebudayaannya, ibarat
dua sisi mata uang, Pidie dan Pidie Jaya tak akan pernah bisa dipisahkan.
Beberapa ejaan nama tempat dalam catatan R. Broersma ini juga sudah saya
sesuaikan dengan kondisi terkini.
Semoga kita
dapat berkaca dan mengambil pelajaran dari catatan itu untuk merencanakan masa
depan Pidie Jaya yang lebih gemilang berlandaskan agama dan budayanya. Bagi
yang ingin membaca versi lengkapnya silahkan berkunjung ke Museum Pidie Jaya
atau mengakses dalam koleksi digital Pustaka Museum Pidie Jaya melalui laman budayapijay.or.id kalau sudah terbit
nanti. (*)
Penulis: WDA
0 Komentar