KELUARGA DAN PENDIDIKAN
Wilopo lahir
di Purworejo pada
tanggal 21 Oktober
1909. Di kota
kecil ini, Wilopo dibesarkan
oleh ayahnya, yang dikenal
sebagai Mantri Guru
Prawirodiharjo. Wilopo dibesarkan dalam keluarga
muslim yang menganut
ajaran Jawa. Hal inilah yang akan mempengaruhi perkembangan pemikiran
Wilopo dalam setiap
kebijakannya.
Wilopo bersekolah di
HIS (Sekolah Domestik Belanda), dulunya
bernama Sekolah Ongko
Siji. Bahkan, Wilopo
melanjutkan studi di ELS (Europese
Hogere School). Sekolah
Belanda untuk anak-anak
Belanda, karena sang ayah
bisa menulis dan berbicara
bahasa Belanda. Alasan
Wilopo bersekolah di
HIS karena ingin
melanjutkan studinya di OSVIA
(Opleidings School voor
Inlandse Ambtenaren).
Ketika berusia delapan tahun,
Prawirodiharjo dan keluarganya harus
pindah ke Loano,
lima kilometer dari
Purworejo. Di Loano, Wilopo tidak
merasa terasing layaknya pendatang, di mana ia mampu beradaptasi dengan
cepat sehingga dapat berbaur dengan teman barunya. Setelah tiga tahun Keluarga Prawirodiharjo tinggal di Loano, mereka
pindah kembali ke Purworejo
setelah Wilopo duduk
di kelas enam. Setelah
lulus dari HIS,
Wilopo harus melanjutkan studinya di
OSVIA. Sebelum memutuskan untuk melanjutkan
studinya, Wilopo mendapat
nasehat dari sepupunya
Soediro untuk melanjutkan
studinya di MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs). Wilopo
tertarik dengan tawaran
Soediro yang juga
kuliah di MULO, namun Wilopo terkendala
biaya. Untungnya, masalah tersebut
dapat diselesaikan dengan bantuan
seorang paman, Dr. Soekadi, adik dari Prawirodiharjo. Dr.
Soekadi bersedia membiayai
kuliah Wilopo di MULO sampai mendapat beasiswa.
Wilopo memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya
di MULO di Magelang. Di sana ia tinggal
di rumah seorang
janda Wedana Bandungan
dengan uang
sewa sebesar 12,5 f,- (f =
diucapkan Gulden). Selama kuliah di MULO,
Wilopo mendapat bantuan
dari Dr. Soekadi selama
enam bulan berturut-turut, namun baru pada bulan ketujuh, Wilopo mendapat beasiswa
sebesar 20 f per bulan. Selama empat
tahun di MULO, Wilopo semakin berkembang.
Setelah kuliah di MULO,
Wilopo melanjutkan studinya di AMS-B (Algemene Middelbare School),
Jogjakarta. Seperti yang
diharapkan,
di AMS,
Wilopo terlibat dalam ilmu eksakta dan
fisika.
Pada tahun ini, Wilopo juga
mendapat beasiswa untuk
menghidupi dirinya selama tinggal
di Jogjakarta.4 Pada
tahun 1927, Wilopo mulai tinggal di kota Jogjakarta.
Saat kuliah di AMS Yogyakarta, Wilopo tertarik membaca koran
De Locomotif, Darmo
Kondo dan Soeara
Oemoem. Dari situlah Wilopo
mengetahui
nama Bung Karno
yang mendirikan Partai
Nasional Indonesia (PNI)
pada tahun 1927 di Bandung. Pada
momen ini, Wilopo mulai bergabung
dengan organisasi pemuda Jong
Java, selain itu ia juga mendapat tawaran untuk menjadi
anggota kelompok pemuda Indonesia. Sejak
bergabung dengan organisasi
kepemudaan,
organisasi
tersebut cukup menguras waktu sehingga hasil
ujiannya di AMS
jauh dari yang
diharapkan. Dengan nilai rata-rata
yang diperoleh, Wilopo masih
bisa lulus dari AMS namun dengan nilai tersebut, tidak menjamin Wilopo
mendapatkan beasiswa yang sama seperti sebelumnya.
Usai lulus dari AMS, Wilopo
mengetahui kebenaran
dari latarbelakang keluarganya. Ayah kandung Wilopo sebenarnya
adalah seseorang yang dipanggil pamannya, yaitu Soedjono Soerodirjo.
Soedjono sendiri adalah
saudara ipar Prawirodiharjo. Ibu
kandung Wilopo, meninggal saat
Wilopo masih berada di MULO Tingkat
III (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs). Berita
ini tidak mengejutkan bagi Wilopo dewasa.
Wilopo memiliki empat saudara kandung, tiga
di antaranya telah meninggal dunia.
Dia kemudian mengetahui bahwa Prawirodiharjo
tidak memiliki keturunan, sehingga dia
dinamai putra Prawirodiharjo menurut ritual tradisional Jawa.
Mereka membesarkan Wilopo
seolah-olah
anak sendiri, bahkan
dalam “akte van bekendheid”, dikatakan bahwa Wilopo
adalah anak dari
Raden Prawirodiharjo, mantan guru dari
Purworejo. Hal ini memberikan
kesempatan kepada Wilopo untuk belajar di
HIS.
Setelah terjadi negosiasi antara
Wilopo, Prawirodiharjo dan ayah
kandungnya Soedjono,
akhirnya diputuskan bahwa
setelah lulus dari AMS (Algemene Middelbare School), Wilopo
akan melanjutkan studinya di THS (Technisceh Hoge School)
Bandung. Di sana,
Wilopo tinggal di rumah seorang kerabat, yaitu keluarga Prawirosentiko.
Selama kuliah di THS, Wilopo
mendapatkan beasiswa meski agak terlambat,
yang mengakibatkan dia
terlambat tiba di Bandung. Wilopo
diterima sebagai siswa THS
untuk tahun ajaran 1930-1931.
Kota Bandung dengan udara dinginnya sepertinya tidak cocok untuk Wilopo,
ia sering dikelilingi oleh penyakit,
terutama bronkitis dan asma. Karena alasan kesehatan, Wilopo akhirnya pindah ke Sukabumi. Ia berencana
tinggal bersama sepupunya yang
bekerja di kantor
kecamatan Sukabumi. Di sana, Wilopo bertemu
dengan Ki Sudarso, yang
ingin mengembangkan Taman Siswa
dengan membuka Taman Siswa.
Ki Sudarso mengalami kendala dalam mewujudkan
keinginannya untuk membuka
taman siswa, yaitu ketiadaan
tenaga pengajar. Maka
ketika Ki Sudarso
bertemu Wilopo, dia langsung meminta Wilopo menjadi guru di Taman Siswa, dan Wilopo menerima permintaan itu. Selama tahun ajaran
1932-1933,
Wilopo mengepalai Taman Siswa
sedangkan Ki Sudarso
mengepalai semua perguruan Taman Siswa
di Sukabumi. Selain
mengajar, Wilopo juga
semakin tertarik pada aktivisme politik
dan partisipasi, bergabung dengan organisasi.
Wilopo pindah ke Jakarta dan melanjutkan
studinya di RHS, sebuah sekolah
hukum atas saran
Sjamsuddin. Sjamsuddin sendiri adalah teman Wilopo yang juga mahasiswa di Rechts Hoge School (RHS). Di Jakarta, ia tinggal bersama
Abdul Rasyid, salah satu temannya di MULO. Di sana, Wilopo bertemu Sumikalimah, adik dari ibu Abdul. Sumikalimah adalah seorang
guru sekolah dasar.
Wilopo memulai hubungan dengan
Sumikalimah hingga pernikahan
mereka pada Oktober 1917. Pada waktu ini ayah kandung Wilopo
dan ayah angkatnya
telah meninggal dunia,
sehingga penggantinya adalah saudara kandung
dari ayah kandung
Wilopo, Bapak Soerodiwirjo.
Di Jakarta,
Wilopo juga terus
memperdalam kegiatan politiknya. Selama kuliah hukum di
universitasnya, Wilopo juga aktif di partai politik dan beberapa organisasi
kepemudaan
di Jakarta. Ia juga pernah
bekerja sebagai guru di beberapa sekolah dan
sebagai penulis untuk beberapa
surat kabar Belanda.
Karena jadwalnya yang padat, ia tidak punya waktu untuk mempelajari buku-buku
hukum. Artinya, studi Wilopo yang
seharusnya selesai dalam lima tahun,
tidak bisa selesai tepat waktu.
Wilopo mendaftar
pada tahun ajaran
1933-1934. Pada akhir
tahun 1939, ia hanya
diuji untuk tingkat D-II,
yang seharusnya dicapai dalam satu
setengah tahun sebelumnya.
Jadwal yang padat
tidak lagi membuatnya memikirkan ujian akhir. Untungnya saat
itu ada keadaan darurat yakni pendaratan Jepang di Indonesia, sehingga Ketua RHS memutuskan semua
mahasiswa yang meraih D-II
dianggap sarjana. Wilopo lulus ujian D-II pada tahun 1939 sehingga tahun tersebut
dianggap sebagai tahun
Wilopo lulus dari RHS.
Karir
Beberapa jabatan yang pernah dipercayakan kepada Wilopo:
- Menteri Muda Perburuhan pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Amir Sjarifuddin II (1947–1948)
- Menteri Perburuhan pada Kabinet Republik Indonesia Serikat (1949–1950)
- Menteri Luar Negeri pada Kabinet Wilopo ad interim (1952)
- Perdana Menteri pada Kabinet Wilopo (1952–1953)
- Ketua Konstituante(1955–1959)
- Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1968–1978)
- Anggota Komite Empat - tim pemberantas korupsi (1970)
Referensi: Wilopo
Penyunting: Afdhal Zikri, S.Pd (Ahli Pertama - Pamong Budaya)
0 Komentar