Sepenggal Cerita dari Bachtiar Effendi

Budayapijay.or.id - Drs. Bachtiar Effendi, M.Pd. merupakan putra Meureudu yang tumbuh besar hingga menamatkan pendidikan di Medan. Tamat tahun 1965, Bachtiar muda pulang kampung dan mengabdikan diri sebagai guru SMA Negeri 1 Sigli. Selain menjadi guru, Bachtiar juga dikenal sebagai aktivis di berbagai organisasi pemuda maupun organisasi kemasyarakatan. Secara berturut-turut, ia pernah tercatat sebagai Ketua KNPI Pidie, Ketua Pemuda Muhammadiyah Pidie, Ketua Muhammadiyah Pidie, Pengurus ICMI Pidie, Ketua SOKSI Pidie, dan Ketua Wirakarya Pidie.

Oleh karena riwayat organisasi yang tidak biasa tersebut, rapat tokoh-tokoh masyarakat dalam wilayah III Meureudu pada hari Jum’at tanggal 27 Agustus 1999 di oproom Setwilda Tingkat II Pidie sepakat memilih Bachtiar Effendi sebagai Ketua Panitia Peningkatan Status Wilayah Kerja Pembantu Bupati Pidie Wilayah III Meureudu menjadi Kabupaten Meureudu (selanjutnya disingkat dengan Panitia Pemekaran). Pembentukan panitia ini disahkan dengan Surat Keputusan Pembantu Bupati Pidie Wilayah III Meureudu Nomor: 135/327/1999 tertanggal 28 Agustus 1999 yang ditandatangani oleh Drs. H. Sulaiman Abdullah.

Rabu, 12 Juli 2023, kami berkesempatan silaturrahim ke rumahnya di belakang Pasar Kota Meureudu. Di awal perbincangan, pensiunan Kepala SMA Negeri 1 Meureudu ini langsung mengenalkan pikiran kami pada empat tim yang berkontribusi besar dalam proses Pendirian Kabupaten Pidie Jaya. Tim yang dimaksud secara berturut-turut adalah Panitia Pemekaran, Forum Percepatan, Perwakilan Banda Aceh, dan Perwakilan Jakarta. Bachtiar sendiri terlibat di dua tim sebagai Ketua Panitia Pemekaran dan Wakil Ketua Forum Komunikasi Percepatan Pemekaran Kabupaten Pidie (selanjutnya disingkat dengan Forum Percepatan).

Proses mendirikan Kabupaten Pidie Jaya berlangsung selama kurang lebih delapan tahun. Dalam rentang waktu itu, Aceh dilalui enam kepemimpinan Gubernur, diantaranya: Syamsuddin Mahmud, Ramli Ridwan (sebagai pj), Abdullah Puteh, Azwar Abu Bakar (sebagai pj), Mustafa Abu Bakar (sebagai plh), dan Irwandi Yusuf. Sedangkan tampuk kepemimpinan Pidie berganti empat kali, dimulai sejak Bupati Djakfar Ismail, Abdullah Yahya, Syarifuddin AR (sebagai pj), dan Mirza Ismail.

Menurut penuturan Bachtiar, ide awal pemekaran ini muncul saat Kolonel Syarwan Hamid berkunjung ke Meureudu. Waktu itu, Meureudu merupakan kota terbersih di seluruh wilayah Pidie. Pohon rindang di sepanjang jalanan  bebas sampah, drainase berfungsi dengan baik  dialiri air jernih yang biasa dipakai mandi dan mencuci oleh warga. Syarwan Hamid yang berhasil mengatasi pemberontakan GAM saat bertugas sebagai Danrem 011/ Lilawangsa (1990-1992), berkunjung dalam kaitan tugasnya sebagai Menteri Dalam Negeri Kabinet Reformasi Pembangunan (pangkat terakhir Letjend). Kunjungan ini disambut langsung oleh Djakfar Ismail yang notabene juga teman seangkatan Syarwan saat pelatihan di Lemhanas. Dalam kunjungan itulah muncul ide spontan dari Syarwan mengenai pemekaran Kabupaten Pidie sebagaimana yang sudah dilakukan di Bireuen dan Aceh Utara.

Ide ini lalu disambut oleh Djakfar Is dengan mengundang seluruh alim ulama dan tokoh masyarakat termasuk geuchik, mukim, dan Tgk. Imuem dalam Wilayah Kerja Pembantu Bupati Pidie Wilayah III Meureudu (dari Ulee Glee sampai Glumpang Minyeuk) untuk menghadiri rapat yang dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 27 Agustus 1999. Rapat perdana ini berhasil menunjuk tim formatur yang setelah Shalat Jum’at melanjutkan rapat di Masjid Agung Al-Falah Sigli. Dari hasil kedua rapat ini ditetapkanlah “Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Meureudu” yang bertugas melakukan penelitian dan pengkajian terhadap semua potensi daerah serta berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan status Wilayah Kerja Pembantu Bupati Pidie Wilayah III Meureudu menjadi Kabupaten Meureudu.

Panitia ini dinaungi langsung oleh Bupati Pidie dan seluruh jajaran Muspida Tk. II (istilah Forkopimda saat itu), serta seluruh Muspika dalam Wilayah III Meureudu, termasuk alim ulama dan tokoh masyarakat asal Meureudu baik yang berdomisili di dalam maupun diluar wilayah.

Dalam kepanitiaan ini, Sulaiman Abdullah bertindak sebagai koordinator dibantu camat Meureudu. Bachtiar Effendi didaulat sebagai ketua umum dibantu dua belas orang wakil ketua, Abd. Rahman Puteh sebagai sekretaris umum dibantu delapan orang wakil sekretaris, dan Nurdin H. Bencut sebagai bendahara umum dibantu H.M. Saleh Husen.

Selain pengurus harian, kepanitian ini juga terdiri atas empat seksi, diantaranya: Seksi keuangan yang dikomandoi oleh Salman Ishak dibantu H.T. Maimun dan sepuluh anggota, Seksi sekretariat dikomandoi oleh Mustafa Mahmud dibantu A. Hamid Amin dan tujuh anggota, Seksi Humas/ Komunikasi/ Dokumentasi dikomandoi oleh M. Husen AB dibantu Rizal Mahfud dan delapan anggota, serta Seksi litbang dan pendataan yang dikomandoi oleh Iskandar Idris dibantu Zulkifli Ubit dan dua puluh anggota.

Setelah membentuk panitia, rapat juga menyepakati bahwa kabupaten yang akan didirikan ini akan diberi nama Kabupaten Meureudu dan beribukota di Meureudu. Adapaun wilayahnya meliputi sepuluh kecamatan yaitu Bandar Dua, Jangka Buya, ulim, Meurah Dua, Meureudu, Trienggadeng, Panteraja, Bandar Baru, Glumpang Minyeuk (sekarang masuk dalam Kec. Glumpang Tiga, Pidie), dan Geumpang. Seiring berjalannya waktu, berulang kali diadakan rapat untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemekaran, termasuk melibatkan tenaga ahli dari USK untuk mengkaji PAD dan PDB Kabupaten Meureudu nanti. Setelah dokumen pemekaran cukup lengkap, panitia mengirimkan berkas tersebut ke DPRD Tk. I dan DPRD Tk. II untuk memperoleh rekomendasi.

Rekomendasi dari DPRD Tk. I diperoleh dalam waktu relatif singkat, namun hal demikian tidak terjadi pada DPRD Tk. II. Saat pembahasan di DPRD Tk. II, Fraksi PPP yang dipimpin oleh Nurdin tidak setuju dengan usul pemekaran ini. Tidak sampai disitu, ganjalan berikutnya datang dari GAM. Masa itu konsentrasi konflik antara RI dengan GAM juga kembali hangat pasca pencabutan status DOM oleh Presiden B.J. Habibi. Beberapa tokoh pemekaran Kabupaten Meureudu secara bergantian “dipanggil” ke gunung oleh pimpinan GAM. Di waktu ini, kondisi kesehatan Sulaiman Abdullah menurun drastis dan tak lama berselang ia pun wafat dengan diagnosa serangan jantung. Karena kondisi itu, beberapa tokoh panitia pemekaran tidak cukup berani untuk menghadiri “panggilan” pihak GAM. Mau tidak mau, Bachtiar lah yang berulang kali menyahuti panggilan tersebut.

Dalam beberapa kali pertemuan dengan pihak GAM, Bachtiar menangkap pesan bahwa pihak GAM tidak menginginkan pemekaran wilayah ini. Alasannya, pemekaran ini akan memperkecil wilayah Pidie dan melahirkan Kodim juga Polres baru sehingga menghambat cita-cita pergerakan yang sedang diperjuangkan GAM. Menanggapi hal ini, Bachtiar memberi tawaran bahwa di kabupaten yang baru nanti tidak akan didirikan Kodim dan Polres baru sambil mencontohkan Aceh Besar dan Sabang yang tetap tunduk ke Kodim Banda Aceh. Sampai tahap itu, usaha pemekaran Kabupaten Meureudu terus dihadapkan dengan berbagai tantangan dan hambatan. Hingga masa jabatan Bupati Djakfar Is berakhir di tahun 2000, ia tidak dapat mengeluarkan rekomendasi pemekaran.

Usaha mendirikan Kabupaten Pidie Jaya kemudian dilanjutkan pada masa Bupati Abdullah Yahya. Di masa ini hambatan pemekaran semakin besar. Dalam rapat pertama di masa Bupati Abdullah Yahya, Geulumpang Minyeuk dan Geumpang mengundurkan diri dari wilayah pemekaran. Untuk menghambat pemekaran, di masa ini juga muncul koalisi Pidie Bersatu yang disponsori oleh seorang anggota DPRD Tk. I dan seorang anggota DPR Pusat. Beberapa tokoh juga tidak setuju dengan penyebutan Kabupaten Meureudu. Mereka meminta agar nama kabupaten baru ini tetap menggunakan nama Pidie. Mereka juga tidak setuju kalau ibu kota kabupaten ini di Meureudu. Usulannya Leung Putu atau Trienggadeng. Menanggapi penolakan terhadap Meureudu sebagai ibu kota, Bachtiar menjawab bahwa penentuan ibu kota nanti berdasarkan hasil penilaian dari tim Kementerian Dalam Negeri. Di kemudian hari terbukti bahwa dari tiga usulan calon ibu kota, Meureudu-lah yang paling memenuhi syarat sebagai ibu kota kabupaten baru ini.

Untuk mempercepat proses pemekaran, Bupati Abdullah Yahya membentuk Forum Komunikasi Percepatan Pemekaran Kabupaten Pidie melalui Surat Keputusan Nomor 231 tertanggal 07 Januari 2004. Forum ini bertugas melakukan pendekatan dengan instansi terkait baik di provinsi maupun di pusat sekaligus mencari donatur yang bersifat tidak mengikat. Dalam forum ini, Bachtiar Effendi bersama H. Lukman dan H.M. Yusuf Ishak didaulat untuk membantu Muchsin Hanafiah sebagai ketua forum. Forum yang berisi 32 orang ini sebagian diambil dari unsur panitia pemekaran sebagian lain merupakan gabungan ulama, akademisi, dan birokrat asal wilayah III Meureudu baik yang bertugas di tingkat provinsi maupun di pusat.    

Tidak berhenti sampai disitu, usaha pemekaran terus dibahas dalam rapat-rapat selanjutnya. Setelah beberapa kali rapat, akhirnya disepakati bahwa kabupaten hasil pemekaran ini diberi nama Kabupaten Pidie Jaya, terdiri atas delapan kecamatan dari Bandar Baru ke Bandar Dua, dan ber-ibu kota Meureudu. Kesepakatan ini kemudian menjadi dasar bupati mengeluarkan rekomendasi pemekaran Kabupaten Pidie. Lobi di tingkat provinsi digencarkan oleh Syamsuddin Mahmud dan M. Gade Salam, sedangkan di tingkat pusat dikomandoi oleh Mustafa Abu Bakar dan Hasballah M. Saad. Jalan panjang usaha pemekaran ini kemudian berbuah manis dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pidie Jaya di Provinsi NAD yang ditandatangani oleh Presiden SBY pada tanggal 02 Januari 2007. (wda)

Posting Komentar

0 Komentar

advertise

Menu Sponsor

Subscribe Text

Ikuti Channel YouTube Budaya Pijay